Senin, 16 September 2013

Ini Akibat Jika Hanya Terpesona pada Popularitas


Kategori: Opini*

[RR1online]
SEJAUH ini, belum ada yang bisa ditunjuk sebagai keberhasilan yang hebat dari kinerja pemerintah saat ini. Janji-janji untuk kesejahteraan rakyat, sampai detik ini pun belum bisa dibuktikan oleh penguasa saat ini. Padahal sebelumnya, rakyat sangat yakin nasib mereka bisa berubah jika memilih sosok yang sudah sangat POPULER ketika itu untuk menjadi pasangan presiden.

Tetapi, lihat dan rasakanlah sendiri, bagaimana kondisi ekonomi di negara yang katanya agraris dan subur ini. Petani dan nelayannya malah menjadi “tamu” di negeri sendiri, harga seluruh kebutuhan pangan naik dan amat sulit dijangkau oleh masyarakat, harga BBM tetap dipaksa dinaikkan meski mendapat penolakan serius dari rakyat, nilai rupiah yang melemah, utang negara yang terus bertumpuk dan bertambah, aset-aset dan kekayaan alam bumi kita lebih separuh sudah dikuasai oleh negara asing, tetapi…..rakyat kita masih… dan masih tetap miskin.

Lihatlah, bagaimana pemerintah memperlakukan rakyatnya yang miskin itu hanya dengan mampu memberi BLSM, yang secara psikologis malah hanya membuat mereka merasa makin miskin. Jika pemerintah hanya mampu memberi BLSM, maka siapa saja termasuk saya pun bisa menjadi presiden. Sayangnya, saya BELUM POPULER.

Dan sungguh, rakyat kita saat ini sudah lelah menjerit dan menangis, suara dan air mata mereka telah kering, dan boleh jadi sekering serta setandus jiwa pemerintah yang belum jua tersentuh sedikit pun untuk cepat-cepat mengatasi persoalan ekonomi yang sedang terancam krisis di negara kita ini.

Meski telah diperingatkan melalui kritikan yang diikuti dengan sejumlah saran pemecahan masalah dari beberapa ahli dan pengamat ekonomi, tetapi pemerintah (terutama presiden) masih juga tetap merasa diri lebih hebat dari lainnya, kritik dan saran maupun masukan diabaikannya.

Parahnya, bukannya berkonsentrasi untuk cepat-cepat mengatasi masalah ekonomi, Presiden kita bersama sejumlah menteri (termasuk ketua DPR, DPD, 1 anggota BPK, 1 Duta Besar, 1 Gubernur dan lainnya) nampak malah lebih kelihatan fokus mengurus partainya agar tetap POPULER dengan melakukan konvensi capres daripada mewujudkan invensi pemecahan terhadap masalah ekonomi, juga korupsi di negara ini. Hmmm…mm…????

Sehingga jangan salahkan jika tak sedikit pihak merasa kecewa dengan “ulah” pemerintah yang saat ini nampak lebih mementingkan kelompok (partainya) daripada kepentingan rakyatnya yang masih sangat jauh dari tingkat kesejahteraan. Termasuk jangan salahkan ketika sosok seperti Rizal Ramli terus mendesak dan mengkritik pemerintah yang lebih memburu POPULARITAS ketimbang segera mewujudkan kebijakan yang  populis.

Dan tolong jangan salahkan pula jika saya amat mengagumi Rizal Ramli saat ini. Sebab, saya mengamati sejauh ini ternyata hanya sosok Ekonom Senior ini yang tetap konsisten menyuarakan hak-hak rakyat melalui kritikan diikuti dengan saran solusinya, baik secara lisan maupun mendatangi langsung para pengambil keputusan di tempat masing-masing.

Dengan mengetahui kondisi ekonomi Indonesia yang saat ini merosot dan tak jelas ke mana arahnya, serta dengan memperhatikan masalah korupsi yang terus merajalela dan belum juga tertuntaskan, maka Rizal Ramli yang sejak dulu aktif melakukan pergerakan perubahan ini menilai, bahwa Indonesia sesungguhnya cuma membutuhkan empat kriteria pemimpin yang dibutuhkan untuk ke depan. Yakni memiliki visi, integritas, kapasitas teknis memecahkan masalah, dan popularitas.

Sayangnya, menurut Rizal, di beberapa tahun terakhir hingga saat ini, faktor popularitas yang selalu menjadi ukuran buat sebagian orang memilih pemimpin tanpa mendahulukan tiga kriteria lainnya itu. Akibatnya, dapat dirasakan saat ini, bahwa ukuran popularitas tak mampu menyejahterakan rakyat dan sulit membawa Indonesia sebagai negara yang disegani di Asia.

“Yang kita butuhkan adalah pemimpin yang mampu menyelesaikan masalah kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan rakyat Indonesia dibandingkan bangsa-bangsa maju. Pemimpin yang mampu mengurangi utang yang sudah lebih dari Rp2.100 triliun. Pemimpin yang dalam tempo cepat mampu mengurangi empat devisit sekaligus yang telah membawa pereknomian Indonesia pada ‘lampu kuning’,” ujar Rizal Ramli pada Forum Indonesia, satu acara talk show yang digelar Metro TV, Kamis malam (12/9), yang diiringi gemuruh tepuk tangan dari audiens yang memenuhi grand-studio, seperti dilansir wartaekonomi.com.

Dikatakannya, Indonesia butuh pemimpin yang punya visi yang jelas, mau dibawa ke mana Indonesia ke depan. Pemimpin yang punya integritas, mampu mengemban kepercayaan rakyat dengan amanah. Pemimpin yang bekerja dengan hati untuk menyejahterakan rakyatnya, bukan hanya sibuk menyenangkan majikan asing. Pemimpin yang mampu memecahkan masalah, bukan justru menjadi bagian dari masalah.

“Indonesia tidak butuh pemimpin yang sekadar mengandalkan popularitas. Saya juga minta bangsa Indonesia belajar dari pengalaman sembilan tahun terakhir ini. Bagaimana pemimpin yang hanya bermodal popularitas ternyata tidak mampu memecahkan masalah, tapi malah justru menjadi sumber masalah itu sendiri,” lontar Mantan Menko Perekonomian ini.

Menurut Rizal Ramli, selama ini rakyat Indonesia memang mudah terpesona dengan popularitas tokoh, sehingga menganggap yang bersangkutan pantas menjadi pemimpin. Padahal, dari keempat kriteria tersebut, hanya popularitas yang bisa direkayasa. Dengan iklan dan publisitas yang terus-menerus, persepsi publik dapat digiring ke arah yang dikehendaki. Seorang yang selama ini jadi bagian dari masalah kemudian seolah-olah menjadi pembawa solusi, pecundang menjadi pemenang, bahkan penjahat bisa tiba-tiba berubah menjadi pahlawan,  dan seterusnya.

“Kalau kita terus-menerus terpesona dan terjebak pada popularitas, maka Indonesia tidak akan bisa menjadi next China, next Japan, next Korea. Indonesia hanya akan menjadi next Filipina. Ingat, Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan para pendiri bangsa lain menjadi pemimpin karena mereka telah membuktikan visinya, integritas, dan kapasitasnya dalam memecahkan masalah. Kalau popularitas yang menjadi ukuran, Soekarno tidak akan pernah menjadi presiden karena dia tidak mampu membayar iklan televisi, pasang baliho besar-besar di setiap sudut jalan, atau merekayasa publisitas,” jelas Rizal Ramli, yang namanya juga terus menanjak sebagai Capres paling ideal 2014.

Selain Rizal Ramli, talk show bertema “Siapa Mampu Mengalahkan Jokowi?” itu juga menghadirkan 20 narasumber dengan berbagai latar belakang, sebagian besar adalah para politisi Senayan yang mewakili partai masing-masing. Namun ada juga pengamat seperti Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Boni Hargens dan pakar komunikasi politik yang kini menjadi anggota konvensi Partai Demokrat Effendi Ghozali.
------------
*Sumber: Kompasiana

Fenomena Politik Pendukung Emosional

Kategori: Opini*
[RR1online]:
JELANG
Pemilu 2014, banyak orang yang tanpa sadar telah terjebak dalam manuver-manuver politik praktis. Caci-maki dan saling hujat dengan mudahnya terlontarkan demi membela figur yang mereka nilai lebih layak didukung sebagai Calon Presiden (Capres) 2014 mendatang.

Parahnya, mereka para pendukung itu kebanyakan adalah bukan sebagai kader partai politik (parpol) “pengusung” figur tersebut. Dan celakanya, sebagian besar di antara mereka bahkan sama sekali belum mengenali secara jelas seperti apa sesungguhnya figur yang mereka dukung itu.

Satu-satunya alasan klasik yang sangat menonjol  mengapa mereka ikut mendukung figur tersebut adalah, bahwa “NAMA” figur itu sudah sangat populer di mana-mana. Bahkan sebagian di antaranya bisa dengan gampangnya menunjuk mana figur  yang cocok dan mana figur yang tidak pas untuk jadi capres hanya berdasar pada PANDANGAN MATA dan menurut PERASAAN masing-masing.

Padahal tanpa disadari, figur-figur yang ada saat ini bisa menjadi populer adalah lebih banyak karena dari hasil “rekayasa” media melalui pemberitaan yang gencar  disuguhkan ke permukaan. Kemudian ini diperkuat lagi dengan  kalimat-kalimat “manis pemikat” dari figur-figur itu yang memang secara sengaja “merangsang” masyarakat melalui penayangan iklan-iklan di berbagai media komersial.

Celakanya, tidak sedikit masyarakat yang langsung menelan bulat-bulat dan mentah-mentah suguhan berita maupun iklan-iklan dari media komersial tersebut. Ditambah lagi karena mengetahui bahwa teman, tetangga dan keluarganya telah mendukung figur bersangkutan, membuat seseorang pun ikut mengukuhkan figur yang telah populer itu sebagai jagoannya tanpa diikuti dengan sikap bijaksana dan cermat.

Sungguh, sikap seperti inilah yang menunjukkan bahwa sebenarnya mereka lebih banyak hanyalah ikut-ikutan mendukung secara emosional, bukan secara rasional.

Sehingga, ketika terlibat dalam “diskusi” atau perbincangan seputar figur-figur capres yang berkualitas, maka mereka-mereka inilah (pendukung emosional) yang akan nampak lebih banyak secara vulgar melontarkan kata-kata kasar dan sinis kepada figur lainnya demi membela jagoannya.

Dan aksi menghujat dan mencaci maki figur-figur lain ini dapat dengan jelas dilihat di sejumlah media-sosial, seperti di Facebook, twitter dan bahkan pula di Kompasiana sebagai media warga yang memang paling terkemuka saat ini.

Sedikit tentang Kompasiana, yang hingga saat  ini nampaknya memang telah berhasil menempatkan diri sebagai “penyedia media” bagi seluruh warga agar bisa pro-aktif “berkreasi” menumpahkan uneg-uneg melalui artikel masing-masing, termasuk tentunya bagi para pendukung emosional. 

Sehingga di sini sangat diharapkan seluruh Admin Kompasiana hendaknya tidak memanfaatkan pula “kepopuleran Kompasiana” untuk berat sebelah atau terkesan lebih berpihak kepada kepentingan sejumlah figur tertentu.

Artinya, Admin Kompasiana hendaknya harus bisa tetap memperlihatkan sikap profesionalismenya dengan senantiasa “membiarkan” persaingan (saling dukung mendukung) ini berlangsung secara fair tanpa harus ikut terjebak secara emosional pula. Misanya, Admin Kompasiana sebagai pemegang “otoritas”  di Kompasiana ini tentulah dapat saja “mungkin” secara emosional mengarahkan sejumlah artikel untuk ditempatkan pada posisi Headline, Highlight, Trending Articles, Featured Article dan lain sebagainya.

Kehadiran Facebook, Twitter, apalagi Kompasiana adalah sangat berperan menentukan pembentukan opini publik. Saya bisa menunjuk di antara media-sosial ataupun media warga yang ada saat ini, maka Kompasiana-lah yang  paling mampu memperlihatkan perannya secara amat strategis, karena di Facebook dan di Twitter tidak ada penempatan tata-letak postingan atau artikel berdasarkan penilaian keputusan dari adminnya.

Sehingganya, Admin Kompasiana setiap saat dituntut agar mampu memperlihatkan “jati diri” Kompasiana sebagai “Kiblat Informasi” MILIK WARGA yang berasal dari kelas paling bawah hingga kelas ekslusif itu.

Apalagi menjelang Pemilu 2014 ini, Kompasiana dipastikan akan semakin “dikerumuni” oleh para member-nya untuk memposting artikel maupun sekadar mengomentari artikel milik kompasianer lainnya. Tentunya adalah artikel yang bernuansa politik akan semakin banyak mengalir masuk ke Kompasiana. Saling dukung-mendukung, yang diwarnai dengan hujat-menghujat, caci-maki dan pembunuhan karakter terhadap satu dengan lainnya pun akan semakin tajam dan sangat sulit dihindari.

Dalam hal ini pula saya katakan secara jujur, bahwa saya adalah termasuk orang yang sudah punya figur sebagai jagoan yang kini sedang saya dukung dan perjuangkan untuk dapat “terlahir” sebagai pemimpin di negeri ini, tetapi bukan untuk saya paksakan secara emosional agar orang lain bisa ikut mendukung, melainkan dengan cara-cara rasional. Dan ini saya mulai dengan memunculkan dan penampilan akun saya (facebook, twitter hingga di Kompasiana ini) secara tidak sembunyi-sembunyi, alias akun saya asli.

Dan sejauh ini, saya berusaha untuk tidak meladeni pendukung emosional seperti itu, kecuali dengan cara-cara rasional. Tetapi terus terang, saya sangat menolak cara ekstrem dari para pendukung emosional dalam mendukung figurnya secara berlebih-lebihan, yakni ketika memberi komentar, dengan mudahnya melemparkan kata-kata kasar yang bermaksud untuk menjatuhkan seorang figur yang diuraikan dalam artikel yang menjadi “saingannya” itu. Sehingga tentunya, ini bisa menimbulkan perdebatan sengit yang sangat tidak sehat, karena malah hanya akan saling menciderai dan melukai satu sama lainnya. Apakah begitu cara dan tujuan mendukung figur yang ingin dilahirkan sebagai PEMIMPIN di negeri ini???
---------
*Sumber: Kompasiana

Senin, 02 September 2013

Pemerintah Bagai Televisi Rusak, “Penonton” Amat Kecewa


Kategoti: Opini*
[RR1online]
BETAPA banyak masalah krusial yang sedang melilit bangsa ini. Sungguh amat memprihatinkan! Mulai dari masalah korupsi yang begitu banyak dilakoni oleh para pejabat dan aparat negara, hingga kepada masalah ekonomi yang saat ini merosot bersamaan anjloknya nilai rupiah.

Pemerintah yang dipercaya mengurusi masalah bangsa yang telah menumpuk saat ini, malah belum juga mampu memperlihatkan tanda-tanda yang menyejukkan hati rakyat. Bahkan rakyat mengaku amat kecewa dengan pemerintah yang saat ini terkesan bagai televisi rusak. Televisinya hidup, namun cuma dipenuhi bintik-bintik hitam-putih, bagai semut yang berjalan tak beraturan tanpa tujuan, tak ada gambar dan tampilan yang bisa ditonton serta dinikmati secara memuaskan.

Saat ini kalau ada masyarakat di level bawah (terutama rakyat miskin) yang mengaku puas dengan langkah-langkah pemerintah sekarang, maka itu bohong besar. Tetapi di sisi yang berseberangan, jika ada kalangan di level atas yang mengaku puas dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah saat ini, maka itu 100% memang benar.

Pemerintah saat ini bukan hanya bagai televisi rusak, tetapi juga ibarat komputer berprosesor lelet yang sistem di dalamnya selalu hang, dan sedikit-sedikit harus di-instal ulang. Itu karena selain sudah terlalu banyak masalah yang terus ditampung tanpa langsung diikuti dengan solusi, juga karena sistemnya memang sudah digerogoti virus-virus yang mematikan.

Di komputer, ada virus yang dikenal dengan nama virus Dropper. Jangan-jangan di dalam tubuh pemerintahan juga ada virus seperti ini. Virus Dropper atau biasa juga disebut kuda troya.

Sedikit tentang virus ini: Kuda Troya adalah perangkat lunak yang mengundang pengguna untuk menjalankannya, dan menyembunyikan muatan yang merusak atau berniat jahat. Muatan dapat memengaruhi sistem secara langsung dan dapat mengakibatkan banyak efek yang tidak dikehendaki, misalnya menghapus berkas-berkas pengguna atau memasang perangkat lunak yang tidak dikehendaki atau jahat secara berlanjut. Kuda Troya yang dikenal sebagai virus penitis (dropper) digunakan untuk memulai wabah cacing komputer, dengan memasukkan cacing ke dalam jejaring setempat pengguna (users’ local networks).

Sederhananya, virus Dropper adalah virus yang dimodifikasi dengan penampakan menyerupai sebuah program yang bagi siapa saja melihatnya merasa tertarik untuk menginstalnya. Namun setelah terinstal, maka virus pun akan menyebar, tetapi Dropper tidak ikut menyebar. Dropper bisa berupa nama file seperti Readme.exe atau melalui Command.com yang menjadi aktif ketika program berjalan. Dan parahnya, satu program Dropper bisa terdapat beberapa jenis virus.

Nah.., tidaklah menutup kemungkinan jika selama ini di tubuh pemerintahan maupun di dalam jasad parpor juga ada virus serupa yang bercokol. Sehingga, jika kondisi televisi rusak ataupun komputer lelet yang bervirus ini tetap dibiarkan begitu saja tanpa ada upaya SUNGGUH-SUNGGUH dan BERANI dari SEMUA PIHAK untuk memperbaikinya, maka jangan pernah bermimpi negara ini bisa menyenangkan dan menyejahterakan rakyatnya. Karena “Maaf…Kerusakan Memang dari Pesawat Televisi Anda”.(map/ams)
---------
Disadur dari: Kompasiana