Jumat, 27 Desember 2013

SJSN Hanya Fatamorgana, BPJS Cuma Akan Jadi= “Badan Pengkhianat Jaminan Sosial”

Kategori: Opini*
[RR1online]:
BERMULA dari Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan tentang pentingnya pengembangan Konsep Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Pernyataan Presiden (Alm) Gus Dur itupun kemudian direalisasikan melalui upaya penyusunan konsep (rancangan) tentang Undang-Undang Jaminan Sosial (UU JS) oleh Kantor Menko Kesra (Kep. Menko Kesra dan Taskin No. 25KEP/MENKO/KESRA/VIII/2000, tanggal 3 Agustus 2000, tentang Pembentukan Tim Penyempurnaan Sistem Jaminan Sosial Nasional).

Sejalan dengan pernyataan Presiden ke 4 Indonesia tersebut, DPA-RI melalui Pertimbangan DPA RI No. 30/DPA/2000, tanggal 11 Oktober 2000, menyatakan perlu segera dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat sejahtera.

Dalam Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001 (Ketetapan MPR RI No. X/MPR-RI Tahun 2001 butir 5.E.2) dihasilkan Putusan Pembahasan MPR-RI yang menugaskan Presiden RI “Membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang lebih menyeluruh dan terpadu”.

Pada 2001, Wapres Megawati Soekarnoputri mengarahkan Sekretarisnya untuk membentuk Kelompok Kerja Sistem Jaminan Sosial Nasional (Pokja SJSN - Kepseswapres, No. 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001 jo. Kepseswapres, No. 8 Tahun 2001, 11 Juli 2001) yang diketuai Prof. Dr. Yaumil C. Agoes Achir dan pada Desember 2001 telah menghasilkan naskah awal dari Naskah Akademik (NA) SJSN.

Kemudian pada perkembangannya Presiden RI yang pada saat itu Megawati Soekarnoputri meningkatkan status Pokja SJSN menjadi Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (Tim SJSN-Keppres No. 20 Tahun 2002, 10 April 2002).

“NA SJSN merupakan langkah awal dirintisnya penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) SJSN. Setelah mengalami perubahan dan penyempurnaan hingga 8 (delapan) kali, dihasilkan sebuah naskah terakhir NA SJSN pada tanggal 26 Januari 2004. NA SJSN selanjutnya dituangkan dalam RUU SJSN,” ujar Sulastomo, salah satu TIM Penyusun UU SJSN pada saat itu.

Konsep pertama RUU SJSN, 9 Februari 2003, hingga Konsep terakhir RUU SJSN, 14 Januari 2004, yang diserahkan oleh Tim SJSN kepada Pemerintah, telah mengalami 52 (lima puluh dua) kali perubahan dan penyempurnaan. Kemudian setelah dilakukan reformulasi beberapa pasal pada Konsep terakhir RUU SJSN tersebut, Pemerintah menyerahkan RUU SJSN kepada DPR-RI pada tanggal 26 Januari 2004.

Selama pembahasan Tim Pemerintah dengan Pansus RUU SJSN DPR-RI hingga diterbitkannya UU SJSN telah mengalami 3 (tiga) kali perubahan. Sehingga dalam perjalanannya, Konsep RUU SJSN hingga diterbitkan menjadi UU SJSN telah mengalami perubahan dan penyempurnaan sebanyak 56 kali. Hingga Presiden Megawati pun akhirnya mensahkan UU No. 40/2004 tentang SJSN di detik-detik akhir jabatannya, yakni pada 19 Oktober 2004.

Dan ketika itu, rakyat tentu saja terasa akan menemukan “mata air di gurun”. Sekaligus dengan UU SJSN ini diyakini akan menghapus pandangan miring mata dunia selama ini kepada Indonesia sebagai ”negara tanpa jaminan sosial”.

Sejak disahkan dan diundangkan UU SJSN telah melalui proses yang panjang, dari tahun 2000 hingga tanggal 19 Oktober 2004. Dengan demikian proses penyusunan UU SJSN memakan waktu 3 (tiga) tahun 7 (tujuh) bulan dan 17 (tujuh belas) hari sejak Kepseswapres No. 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001.

Namun apakah “nyawa” UU SJSN ini sudah langsung dapat menghidupi dan memberi jaminan sosial kepada rakyat..???

BELUMM….!!!! Sebab, sekitar 3 bulan perjalanan penguasa baru (Pemerintahan SBY) atau pada Januari 2005, UU SJSN kembali terusik. Sebab kebijakan ASKESKIN (Asuransi Kesehatan Keluarga Miskin) mengantar beberapa daerah ke MK untuk menguji UU SJSN terhadap UUD Negara RI Tahun 1945. Penetapan 4 BUMN sebagai BPJS dipahami sebagai monopoli dan menutup kesempatan daerah untuk menyelenggarakan jaminan sosial.

Selanjutnya, pada 31 Agustus 2005, MK menganulir 4 ayat dalam Pasal 5 yang mengatur penetapan 4 BUMN tersebut dan memberi peluang bagi daerah untuk membentuk BPJS Daerah (BPJSD).

Putusan MK dinilai makin memperumit penyelenggaraan jaminan sosial di masa transisi. Pembangunan kelembagaan SJSN yang semula diatur dalam satu paket peraturan dalam UU SJSN, kini harus diatur dengan UU BPJS. Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) pun akhirnya baru terbentuk. Pemerintah secara resmi membentuk DJSN lewat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 110 tahun 2008 tentang pengangkatan anggota DJSN tertanggal 24 September 2008.

Pembahasan RUU BPJS berjalan alot. Namun dua Pembantu Presiden yang telah membentuk Tim Kerja, yakni Menko Kesra Meneg BUMN tidak menghasilkan titik temu. RUU BPJS tidak selesai dirumuskan hingga tenggat peralihan UU SJSN pada 19 Oktober 2009 terlewati.

Perhatian pun tertumpah pada RUU BPJS sehingga perintah dari 21 pasal yang mendelegasikan peraturan pelaksanaan terabaikan. Hasilnya, penyelenggaraan jaminan sosial Indonesia gagal menaati semua ketentuan UU SJSN yaitu 5 tahun.

Tahun berganti, namun “air di gurun” itu tak kunjung terlihat. Kondisi ini kemudian memaksa para tokoh pejuang sosial seperti DR. Rizal Ramli, Rieke Diah Pitaloka, Prof. Hasbullah Thabrany, Mudasir dan lainnya bersama kalangan buruh dan sejumlah aktivis LSM mendesak dengan melakukan aksi demo berkali-kali. Bahkan Ketua Umum KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia) Ir. Said Iqbal begitu sangat militan menggerakkan para Buruh tanpa lelah di lapangan mendesak pemerintah agar RUU BPJS segera disahkan demi menjalankan UU SJSN kepada seluruh rakyat Indonesia.

DPR lalu mengambil alih perancangan RUU BPJS pada 2010. Perdebatan konsep BPJS kembali mencuat ke permukaan sejak DPR mengajukan RUU BPJS inisiatif DPR kepada Pemerintah pada Juli 2010. Bahkan zona perdebatan bertambah lebar, selain bentuk badan hukum, Pemerintah dan DPR tarik-menarik menentukan siapa BPJS dan berapa jumlah BPJS. Dikotomi BPJS multi dan BPJS tunggal pun diperdebatkan dengan sengit.

Setelah melalui proses panjang dan melelahkan, puluhan kali rapat yang setidaknya dilakukan tak kurang dari 50 kali pertemuan di tingkat Pansus, Panja, hingga proses formal lainnya. Termasuk di kalangan lingkup empat BUMN penyelenggara program jaminan sosial, yakni PT Jamsostek, PT Taspen, Asabri, dan PT Askes.Yang di dalamnya semuanya terdapat pro dan kontra seputar BPJS. Namun pada 29 Oktober 2011, DPR-RI akhirnya sepakat mengesahkannya menjadi UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS.

Meski bukan sesuatu yang mudah, namun keberadaan BPJS mutlak ada sebagai implementasi dari UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN tersebut, yang sepatutnya telah harus dijalankan sejak 9 Oktober 2009.

Lalu, apakah “nadi” UU SJSN ini sudah dapat berdenyut tanda dimulainya dilaksanakan Jaminan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia..???

LAGI-LAGI BELUMMM…!!!! Sebab, meski BPJS telah diterbitkan dalam sebuah UU formal, jalan terjal nan berkelok di depan ternyata masih harus dilalui. Segunung pekerjaan rumah (PR) masih harus dibenahi demi terpenuhinya hak rakyat atas jaminan sosial.

PR tersebut seperti, Dewan Komisaris dan Direksi PT Askes (Persero) dan PT Jamsostek (Persero) ditekankan oleh UU BPJS untuk menyiapkan berbagai hal yang diperlukan untuk berjalannya proses tranformasi atau perubahan dari Persero menjadi BPJS dengan status badan hukum publik. Perubahan tersebut mencakup struktur, mekanisme kerja dan juga kultur kelembagaan.

Mengubah struktur, mekanisme kerja dan kultur kelembagaan yang lama, yang sudah mengakar dan dirasakan nyaman, sering menjadi kendala bagi penerimaan struktur, mekanisme kerja dan kultur kelembagaan yang baru, meskipun hal tersebut ditentukan dalam Undang-Undang.

Pada Pasal 62 ayat (1) UU BPJS: “PT Jamsostek (Persero) berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan pada tanggal 1 Januari 2014”. Dan BPJS Ketenagakerjaan ini menurut Pasal 64 mulai beroperasi paling lambat tanggal 1 Juli 2015.

Dan dalam waktu dekat ini Pasal 60 ayat (1) akan segera dilaksanakan, yakni: “BPJS Kesehatan mulai beroperasi menyelenggarakan program jaminan kesehatan pada tanggal 1 Januari 2014”

Namun apakah rakyat dengan hati riang gembira akan menyambut pemberlakuan BPJS Kesehatan tanggal 1 Januari 2014 tersebut....????

Heiitt… tunggu dulu..!!! Mari kita tengok, mengapa kemudian banyak kalangan yang menolak SJSN dan BPJS ini?

Pertama UU SJSN dan BPJS ini menurut saya tidak memenuhi unsur dan rasa keadilan bagi seluruh Rakyat Indonesia. Sebab, menjelang BPJS Kesehatan beroperasi dalam menyelenggarakan program jaminan kesehatan tanggal 1 Januari 2014, Presiden SBY pada 16 Desember 2013 ternyata telah menandatangai dua Perpres. Yakni Perpres No.105 Tahun 2013 dan Perpres No.106 Tahun 2013.

Perpres No.105 Tahun 2013, SBY sebagai presiden menetapkan dan memutuskan untuk memberikan pelayanan kesehatan paripurna (lengkap dan penuh) melalui mekanisme asuransi kesehatan buat Menteri dan Pejabat Tertentu. Yakni yang disebut Menteri adalah menteri yang memimpin kementerian dan pejabat yang diberi kedudukan atau hak keuangan dan fasilitas setingkat menteri. Sedangkan Pejabat Tertentu adalah pejabat yang memimpin lembaga pemerintah non kementerian, pejabat eselon I, dan pejabat yang diberikan kedudukan atau hak keuangan dan fasilitas setingkat eselon I.

Sedangkan Perpres No. 106/2013 tentang Jaminan Pemeliharaan Kesehatan adalah bagi pimpinan lembaga negara, yang meliputi Ketua, Wakil Ketua dan Anggota DPR-RI; Dewan Perwakilan Daerah (DPD); Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK); Komisi Yudisial (KY); Hakim Mahkamah Konstitusi (MK); dan Hakim Agung Mahkamah Agung.

“Ketua, Wakil Ketua dan Anggota DPR-RI; Dewan Perwakilan Daerah (DPD); Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK); Komisi Yudisial (KY); Hakim Mahkamah Konstitusi (MK); dan Hakim Agung Mahkamah Agung diberikan pelayanan kesehatan paripurna melalui mekanisme asuransi kesehatan, yang merupakan peningkatan manfaat pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan,” bunyi Pasal 2 Perpres No. 106/2013 itu. Seperti dilansir dalam laman setkab.

Perpres tersebut diterbitkan, sebab pemerintah mempertimbangkan risiko dan beban tugas para pejabat negara tersebut untuk perlu mendapatkan sinkronisasi pengaturan penyelenggaraan jaminan pemeliharaan diri.

Dalam Perpres disebutkan para menteri dan pejabat berhak memperoleh pelayanan kesehatan paripurna atau pensiun. Hal ini termasuk pelayanan kesehatan rumah sakit di luar negeri yang dilakukan dengan mekanisme penggantian biaya.

“Pelayanan kesehatan juga diberikan kepada keluarga menteri dan pejabat tertentu, dan keluarga ketua, wakil ketua dan anggota DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksaan Keuangan, Komisi Yudisial, Hakim Mahkamah Konstitusi, dan Hakim Agung,” demikian bunyi perpres yang dirilis laman resmi Sekretariat Kabinet RI, Senin (23/12).

Anggaran penyelenggaraan pelayanan kesehatan paripurna bagi para pejabat tersebut akan dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Adapun, untuk pejabat daerah di bebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).

Woww…sungguh amat senang tiada tara jadi pejabat negara!?! Gaji dan penghasilannya sudah tinggi malah di-plus..plus..plus dan plus lagi dengan fulus negara yang seharusnya masih bisa dibiayai sendiri oleh para pejabat tersebut. Padahal, sejauh ini mereka disumpah untuk lebih mengutamakan kepentingan rakyat, tapi kenyataannya justru seakan lebih mendahulukan kepentingannya sendiri.

Sementara itu, perusahaan asuransi yang memenangi tender jaminan kesehatan untuk pejabat tinggi adalah PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo). Masa pertanggungan berlaku selama 1 tahun, dimulai sejak 1 Januari 2014.

Dihubungi terpisah, Direktur Operasi Ritel Jasindo Sahata L. Tobing, dilansir bisnisindonesia, mengatakan nilai premi yang didapat adalah sebesar Rp112 miliar untuk sekitar 5.500 pejabat. Nilai premi per orang rata-rata mencapai Rp20 juta pertahun.

Alasan kedua, mengapa SJSN dan BPJS merasa patut ditolak adalah karena adanya pembebanan iuran. Koordinator Lapangan Aksi Serikat Pekerja Nasional, Asep Saefuloh, seperti dilansir Poskota, menilai SJSN dan BPJS tidak mengatur prinsip-prinsip jaminan sosial, akan tetapi lebih berorientasi pada kepentingan bisnis semata. Buktinya, dalam UU No 40 tahun 2004 tentang SJSN, pasal 17 menegaskan setiap peserta wajib membayar iuran. “Artinya di sini rakyat dimandirikan dan negara melepaskan tanggung jawab untuk memberikan jaminan sosial kepada rakyat. Rakyat disuruh membayar iuran, nah tanggung jawab negara di mana?,” tuturnya.

Dan saat ini, Pemerintah telah menyepakati besaran iuran premi kepesertaan BPJS Kesehatan pekerja informal, yaitu Rp25.500 per bulan untuk layanan rawat inap kelas III, Rp42.500 untuk kelas II dan Rp59.500 untuk kelas I. Seperti dikutip metrotvnews.

Celakanya, rakyat sebagai peserta BPJS Kesehatan apabila tidak membayar iuran akan dikenakan sanksi (hukuman). Yakni Pasal 11 UU BPJS: ”Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, BPJS berwenang untuk”: huruf (f): “mengenakan sanksi administratif kepada Peserta atau Pemberi Kerja yang tidak memenuhi kewajibannya;” serta huruf (g): “melaporkan Pemberi Kerja kepada instansi yang berwenang mengenai ketidakpatuhannya dalam membayar Iuran atau dalam memenuhi kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;..”

Selanjutnya Pasal 16 ayat (1) UU BPJS: “Setiap orang, selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan penerima Bantuan Iuran, yang memenuhi persyaratan kepesertaan dalam program Jaminan Sosial wajib mendaftarkan dirinya dan anggota keluarganya sebagai Peserta kepada BPJS, sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti.”

Pasal 17 ayat (1) UU BPJS: “Pemberi Kerja selain penyelenggara negara yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dan setiap orang yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dikenai sanksi administratif.” Kemudian ayat (2): “Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. teguran tertulis; b. denda; dan/atau c. tidak mendapat pelayanan publik tertentu.”

Coba simak Pasal ada 19 ayat (1) UU BPJS: “Pemberi Kerja wajib memungut Iuran yang menjadi beban Peserta dari Pekerjanya dan menyetorkannya kepada BPJS.” Dan ayat (2): “Pemberi Kerja wajib membayar dan menyetor Iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS.”

Pasal 19 ayat 1 dan 2 di atas adalah boleh dikata sebagai pasal “PEMAKSAAN DAN PENCENGKERAMAN”, karena diikuti dengan KETENTUAN PIDANA. Yakni Pasal 55: “Pemberi Kerja yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Mengetahui adanya KEWAJIBAN besaran iuran seperti itu, tentu saja istilah “Jaminan Sosial” tidak terpenuhi, bahkan boleh dikata yang ada hanyalah PENINDASAN dan PENGKHIANATAN terhadap rakyat. Sebab, harusnya UU “Jaminan Sosial” disusun dan diterbitkan untuk supaya TIDAK MENAMBAH KESUSAHAN RAKYAT.

Olehnya itu, UU SJSN dan BPJS ini patut diduga istilah: “Jaminan Sosial” hanya sebagai kedok pemerintahan SBY untuk bisa lebih leluasa menghisap uang rakyat agar kiranya mungkin dapat digunakan dalam Pemilu 2014, dengan mungkin menjadikan BPJS sebagai “penampungnya”. Boleh jadi kan…??? Dan jika ini yang terjadi…maka BPJS boleh jadi juga = (sama dengan) Badan Pembantu Jaring Suara (pada Pemilu).

Sehingga itu SJSN ini ibarat hanya sebagai fatamorgana, dan BPJS cuma seakan sama dengan (=) Badan Pengkhianat Jaminan Sosial.

Jika begitu, maka lebih baik rakyat menggunakan uang mereka untuk keperluan yang lebih mendesak, misalnya beli tempe, bayar rekening PLN, PAM, bayar cicilan motor, atau bahkan lebih baik ditabung sendiri untuk diputar sebagai modal usaha kecil-kecilan, daripada harus disetor ke BPJS (yang nota bene bukan lagi BUMN) yang boleh jadi pada akhirnya hanya menjadi ladang korupsi bagi para koruptor.

“Dulu pada nggak setuju (mengulur-ulur waktu). Begitu jadi Undang-undang, (malah) ditunggangi pejabat (untuk kepentingannya). Sadis..!!??!!” ujar Rizal Ramli kepada penulis via BlackBerry Massenger, Kamis (26/12/2013).

Kasihan negeri ini. Apa iya pemerintah yang sedang berkuasa saat ini dipikirannya cuma selalu ingin membodoh-bodohi dan mengkhianati rakyatnya…????
-----------

*Sumber: Kompasiana

Selasa, 17 Desember 2013

Mendukung Gerakan Perubahan Rizal Ramli Lebih Mencerdaskan




DEMI
menarik simpati rakyat, semua figur dari kalangan parpol yang akan maju melangkah sebagai calon presiden (capres) 2014 saat ini sudah mulai berlomba-lomba menyuarakan kata “Perubahan”. Mereka tahu, bahwa rakyat kita saat ini sangat butuh dengan “Perubahan”.

Tapi tahukan, makna di balik “perubahan” seperti apa yang dikehendaki oleh para figur yang berada di lingkaran parpol…??? Ya, bagi mereka, perubahan = merebut dan meraih/mempertahankan kekuasaan (titik)!?!

Kalau bukan karena hanya untuk merebut dan meraih atau mempertahankan kekuasaan, maka arti “perubahan” apalagi yang dimaksud oleh para figur parpol tersebut..??? Bukankah sejauh ini mereka dan parpolnya sudah mendapat posisi legislatif (di DPR/DPRD) dan juga sebagai eksekutif (di kabinet)..??? dan bahkan di antaranya ada yang mengisi posisi di lembaga yudikatif…??? Atau jangan-jangan sudah ada dari kalangan parpol yang mengisi salah satu posisi di lembaga superbody-KPK..???

Jika demikian, maka seharusnya mereka sudah bisa melakukan perubahan dan perbaikan secara mudah untuk kemajuan bangsa dan negara ini sejak dulu..!!! Tapi kenyataannya, betapa sangat disayangkan kondisi saat ini justru makin parah dan sangat jauh dari yang diharapkan rakyat.

Saat ini mereka malah hanya berlomba-lomba memajang tampan dan menyuarakan “perubahan”, melalui iklan di media cetak dan elektronik, memasang baliho, dan lain sebagainya. Padahal mereka saat ini masih punya kesempatan melakukan perubahan, yaitu dengan melalui posisi dan jabatan yang masih diembannya. Lalu, mengapa mereka kini justru lebih memilih fokus melakukan pencitraan daripada menunaikan amanah yang sudah diberikan oleh rakyat..???

Sungguh semuanya sangatlah mudah dijawab. Yakni sekali lagi, bahwa kata “perubahan” yang mereka suarakan saat ini adalah hanya sebuah pencitraan untuk merebut dan meraih/mempertahankan kekuasaan (titik)!?!

Singkat kata, “perubahan” yang kini giat disuarakan oleh para figur parpol tersebut tak lain karena hanya lebih banyak didorong oleh panggilan “tugas dan kewajiban” sebagai kader parpol, yakni agar mereka dan parpol mereka bisa berjaya dalam Pemilu 2014. Bohong kalau tidak..?!!

Sehingga itu, lontaran “perubahan” dari para figur parpol itu sesungguhnya hanyalah sebatas ungkapan yang justru menunjukkan ambisi besar untuk memperoleh kekuasaan besar pula. Parpol adalah sebagai wadahnya, dan uang adalah alat untuk memenangkan persaingan melawan parpol lainnya, yaitu melalui “jual-beli” suara dari rakyat.

Jika parpol dan uang sudah saling mendukung secara maksimal, maka “perubahan” akan mudah diraih, yakni “perubahan” dalam bentuk kekuasaan yang tidak lain untuk kepentingan kelompoknya saja. Dan beginilah realita dari pertunjukan demokrasi kita selama ini..!

Sangat aneh dan lucu rasanya jika seseorang elit yang diketahui parpolnya masih berada dalam lingkaran (koalisi) kekuasaan saat ini, tiba-tiba memunculkan diri bagai pahlawan lalu bersuara dengan lantang menyerukan “perubahan”…?!!? Sungguh, kondisi seperti ini tidaklah mencerdaskan rakyat yang benar-benar mengharapkan perubahan mendasar dalam berbangsa dan bernegara.

Kalau memang menginginkan perubahan yang sebenarnya, maka lakukanlah secara totalitas selagi masih memiliki kekuasaan…!!! Atau perjuangkan dan gerakkanlah perubahan itu sejak awal sebagaimana yang dikehendaki oleh rakyat…!!!

Bicara mengenai “Perubahan”, maka DR.Rizal Ramli adalah sosok yang sesungguhnya paling pantas disebut sebagai “Pejuang Pergerakan Perubahan” sejati. Artinya, dibanding dengan ajakan “Perubahan” yang dilontarkan oleh figur parpol, maka seruan perubahan dari Rizal Ramli lebih sangat mencerdaskan dan tidak diragukan lagi kemurniannya.

Sebab, seruan “Perubahan” itu tidak hanya dikumandangkan Rizal Ramli pada saat ini saja, atau ketika mendekati pemilu, tetapi sudah diperjuangkannya sejak dahulu kala. Yakni dimulai ketika Rizal Ramli masih sebagai aktivis mahasiswa ITB 1977-1978 dengan melalui berbagai pergerakan dan aksi menuntut adanya “Perubahan”. Artinya, Rizal Ramli telah memperjuangkannya selama hampir 40 tahun.

Yakni bermula ketika Rizal Ramli sebagai mahasiswa ITB, bersama temannya, Adi, berkeliling Pulau Jawa menggunakan sepeda motor, menumpang kereta api dan truk. Layaknya kisah Che Guevara yang sebelum menjadi revolusioner di Kuba, sempat juga mengelilingi Amerika Latin dengan sepeda motor bersama Alberto Granado.

Dari pengembaraannya itu, Rizal Ramli tentunya bisa menyaksikan langsung kondisi ketimpangan sosial-ekonomi yang memprihatinkan dan amat suram di kalangan rakyat Indonesia. Dari situlah, jiwa perjuangannya bergelora dan bertekad untuk tampil menjadi memimpin di negerinya, yakni dengan memperjuangkan lahirnya PERUBAHAN sebagaimana yang diharapkan oleh rakyat.

Meski kehidupannya juga terbilang sangat sulit karena sebagai yatim-piatu yang masih aktif kuliah, Rizal Ramli tentunya mau tak mau harus bisa menambal hidupnya dengan kerja keras. Sempat jadi mandor percetakan, kuli pasar, hingga mengajar kursus Bahasa Inggris.

Semangat untuk melakukan perubahan begitu sangat tinggi. Rizal Ramli bersama para rekan sejawatnya, di antaranya Abdulrachim, Indro Tjahyono, dan lainnya pun mengadakan suatu gerakan politik besar yang dinamai “GERAKAN ANTI KEBODOHAN pada 1976. Gerakan inilah yang berlanjut menjadi Konsolidasi Dewan Mahasiswa pada 1977 yang diwarnai dengan aksi sepenuhnya pro-rakyat hingga 1978 secara signifikan melawan segala bentuk kebijakan rezim Orde-Baru (Orba) yang dinilai sangat korup.

Tak hanya lewat aksi yang kerap digelar, Rizal Ramli bersama para aktivis lainnya pun sempat menulis dan mengetik “Buku Putih Perjuangan Mahasiswa” 1977-1978 yang berhasil diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman, Rusia, China dan belasan bahasa negara lainnya.

Buku tersebut merupakan sebuah seruan besar kepada negara untuk mengganti haluan ekonomi politiknya dan segera membersihkan diri dari korupsi yang berlebihan. Rizal Ramli adalah salah satu pimpinan gerakan PERUBAHAN tersebut, 35 tahun yang lalu. Ke mana ketika itu para figur parpol yang kini ngotot ikut Pilpres dan merasa lebih pantas menjadi capres saat ini…????

Akibat dari perjuangannya yang begitu gigih, Rizal Ramli dan sejumlah kawannya pun dijebloskan ke dalam bui. Sebab, aksi dan seruan Rizal Ramli bersama aktivis lainnya dalam memperjuangkan lahirnya “Perubahan” sosial-ekonomi-politik secara menyeluruh dinilai telah menyakiti penguasa Orba.

Namun dengan di penjara, tidaklah membuat perjuangan Rizal Ramli jadi terputus. Selepas dari penjara di Sukamiskin-Bandung, ia membenahi diri. Hingga kemudian berkat niat serta cita-cita perjuangannya yang tulus dan mulia itu, Tuhan pun memberinya jalan kemudahan. Yakni berhasil mendapatkan bea-siswa di Ford-Foundation studi di University Boston-AS hingga meraih gelar Doktor Ekonomi.

Babak baru perjuangannya pun ia lanjutkan. Yakni berkiprah di dunia bisnis konsultan. Pernah menjadi penasehat fraksi ABRI di MPR tahun 1990-an, dan pengajar SESKOAD. Di sanalah Rizal Ramli mulai berkenalan dengan para perwira tinggi (termasuk SBY) dan sejumlah Jenderal lainnya. Dan momen seperti itu membuat jiwa Rizal Ramli kembali termotivasi untuk segera melakukan gerakan PERUBAHAN dalam sistem Orde Baru. Yakni dengan menurunkan Suharto lalu mengganti sistem ekonomi politiknya.

Tahun 1998, bersama para mahasiwa berbagai spektrum yang bergerak di kalangan rakyat, Suharto pun akhirnya tumbang setelah selama 32 tahun penuh berkuasa. Dan tentu saja ada kisah yang tak sempat tercatat dalam sejarah pergerakan Rizal Ramli, di antaranya adalah mengenai luka darah dan nanah akibat penyiksaan, penderitaan, kepahitan, perut keroncongan, dikejar-kejar dalam hujan dan panas, serta tentang kerinduan; merindukan belaian kasih sayang orang-tua yang menyatu dengan kerinduan untuk mempersembahkan yang terbaik untuk negeri ini.

Suharto lengser , wakilnya BJ Habibie naik sebagai Presiden. Tak lama, Presiden Habibie menawari Rizal Ramli menjadi menteri, tapi ia tolak, takut dinilai ia berjuang hanya untuk mendapat jabatan. Hingga kepada Presiden Gus Dur menawari menjadi Dubes, lagi-lagi Rizal Ramli menolaknya karena alasan lebih tertarik berjuang di dalam negeri sendiri. Tak hanya sampai di situ, Gus Dur kemudian menawarkan ke BPK, namun kembali Rizal Ramli menolaknya.

Gus Dur kemudian “menodongnya” menjadi Kepala Bulog, Rizal Ramli akhirnya sulit menolak untuk kesekian kalinya. Setelah sukses memimpin Bulog, Rizal Ramli kemudian diangkat menjadi menteri oleh Gus Dur untuk melakukan PERUBAHAN yg memang diidamkannya sejak lama. Sayangnya, era Presiden Gus Dur termasuk sangat singkat seiring dengan gesekan politik yang amat memanas, sehingga upaya perjuangan Perubahan Rizal Ramli pun terputus di pemerintahan.

Namun meski sangat singkat, toh Rizal Ramli masih sempat berbuat banyak dari sebagai Kabulog, Menteri Koordinator Perekonomian, lalu Menteri Keuangan, dan terakhir Pemerintahan SBY sempat menggunakan jasa Rizal Ramli dalam menaikkan revenue BUMN Semen nasional sebagai Komisaris Utama PT. Semen Gresik (Sekarang PT. Semen Indonesia) pada 2006-2008.

Tetapi lantaran berbeda pandangan mengenai pencabutan subsidi BBM, Rizal Ramli pun berpisah dengan SBY hingga kini. Dan mulai sejak itu, Rizal Ramli dengan sangat jelas melihat ketidak-beresan pemerintahan SBY yang hanya dominan lebih ingin menguntung kelompoknya saja daripada kesejahteraan rakyat.

Sehingga itu, Rizal Ramli ikhlas dicopot dari jabatannya sebagai taruhan dalam memperjuangkan nasib rakyat Indonesia. Yakni dengan secara tegas ia menolak kebijakan kenaikan harga BBM dan menuntut harga-harga kebutuhan pangan rakyat segera diturunkan.

Kini ia masih menyimpan mimpi juga energi untuk terus melakukan PERUBAHAN, sehingga lucu saja rasanya jika sekarang sudah banyak figur dari parpol yang melontarkan slogan PERUBAHAN ini hanya untuk meraih kekuasaan secara instan. Bandingkan dengan seorang Rizal Ramli yang sudah selama hampir 40 tahun telah mengibarkan panji dan seruan PERUBAHAN.

Demikianlah Rizal Ramli yang sejak dulu hingga kini tetap saja konsisten pada perjuangannya dalam mewujudkan PERUBAHAN di negeri ini. Dan jika hari ini begitu banyak figur dengan hebatnya berlomba-lomba bersuara di mana-mana menyerukan sebuah Perubahan, maka perubahan yang dimaksud itu tak lain hanyalah upaya untuk merebut sebuah ambisi besar. Sebab, mereka menyuarakannya dengan memakai baju dan kostum partai politik di saat mendekati Pemilu 2014.

Dan ini sangatlah berbeda jauh dengan pergerakan perjuangan Perubahan yang dilakukan Rizal Ramli yang mampu diperlihatkannya meski tanpa memakai baju parpol tertentu. Sekali lagi Rizal Ramli secara konsisten tetap memperjuangkan dan menyerukan PERUBAHAN meski tanpa melalui partai politik pun.

Dan nilai perjuangan Perubahan yang dilakukan oleh Rizal Ramli inilah sesungguhnya yang lebih mampu mencerdaskan bangsa ketimbang seruan “Perubahan” yang disuarakan oleh para figur lainnya melalui corong partai politik.

Namun untuk selanjut, silakan rakyat sendiri yang merenungkannya: apakah benar-benar rakyat serius ingin melakukan PERUBAHAN…??? Jika ya, maka kualitas perjuangan perubahan Rizal Ramli tak bisa disepelekan sedikit pun…!!! Bangkit dan dukung perjuangan PERUBAHAN yang kini masih sedang dilakukan oleh Rizal Ramli, sekaligus ini sebagai upaya menghindari perpecahan karena politik di antara sesama anak bangsa..!!!

---------
SALAM PERUBAHAN...!!!

Minggu, 15 Desember 2013

Konsistensi, Kekuatan Sekaligus Kelemahan Rizal Ramli

[RR1online]:
SALAHKAH jika orang berambisi ingin berkuasa? Tentu saja tidak! Hasrat untuk berkuasa adalah salah satu fitrah yang dianugrahkan Allah SWT kepada manusia. Keinginan berkuasa tidak beda halnya dengan hasrat manusia atas makan, minum, sex, dan lainnya. Semuanya sah dan boleh-boleh saja.

Yang jadi persoalan, dari semua naluri tadi adalah bagaimana cara pememenuhannya. Adakah rambu-rambu yang ditabrak? Begitu juga dengan kekuasaan, bagaimana cara meraih kekuasaan yang diidamkan itu? Pertanyaan lain yang tidak kalah penting, untuk apa kekuasaan yang (kelak) berada dalam genggamannya itu digunakan? Jika syahwat kekuasaan dipenuhi dengan cara menghalalkan segala cara, maka tentu saja itu salah besar. Begitu juga bila kekuasaan yang dimiliki digunakan untuk memupuk kekayaan diri dan kelompok di satu sisi, lalu abai terhadap rakyat di sisi lain; itu salah sangat besar.

Pada titik ini, amat menarik mencermati perjalanan seorang Rizal Ramli. Lelaki yang dikenal gigih dan konsisten menyuarakan keharusan menerapkan ekonomi konstitusi ini bisa disebut punya pengalaman yang komplet. Dia pernah berada di dalam dan luar lingkaran kekuasaan.

Uniknya, di mana pun berada 
"di dalam atau luar pemerintahan-- dia tetap saja konsisten dengan garis hidupnya. Itu antara lain ditunjukkan dengan sikap kritisnya terhadap International Monetary Fund (IMF), World Bank (WB) dan berbagai lembaga internasional lain yang dikenal sebagai kampiun sekaligus penebar mazhab neolib.

Saat di luar sistem,  Rizal Ramli kerap bersuara lantang menentang sistem ekonomi neoliberal yang dijalankan pemerintah. Perlawanannya terhadap berbagai kebijakan publik yang memiskinan rakyat, sudah dilakukan sejak Pak Harto masih sangat berkuasa. Bahkan pada 1978, bersama teman-temannya di ITB dia menulis Buku Putih yang membuat Penguasa Orde Baru itu gusar. Hasilnya, Rizal muda harus mendekam di penjara Sukamiskin, tempat Seokarno pernah menjadi penghuninya.

Ketika Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menjadi Presiden, pendiri think tank ECONIT itu Ramli sempat masuk dalam pusat kekuasaan. Sejumlah jabatan penting dan strategis ada dalam genggamannya. Kepala Badan Urusan Logisitik (Bulog), Menteri Koordinator Perekonomian, dan akhirnya Menteri Keuangan pernah disandangnya. Sebelumnya, dia pernah menolak tawaran Gus Dur untuk menjadi Ketua Badan Pemerika Keuangan (BPK) dan Duta Besar Indoensia untuk Amerika Serikat. Kendati begitu, lagi-lagi dia tetap saja konsisten dan tidak berubah!

Ganti Aktor

Sejarah sepertinya senantiasa berulang. Ketika penguasa koruptif dan menzalimi rakyat, sekelompok orang memelopori gerakan untuk menumbangkan. Rezim pun berganti. Tapi, ketika mereka duduk di empuknya kursi Kekuasaan, para jagoan tadi mengulangi kesalahan serupa. Revolusi hanya melengserkan diktator lama dan melahirkan diktator baru. Anggur lama dalam botol baru!

Soeharto kembali mengulangi kesalahan Soekarno. Reformasi yang digulirkan 1998, ternyata hanya mengganti para aktor di panggung kekuasaan. Pemberantasan korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) yang menjadi agenda utama reformasi, kini justru tampil dengan lebih massif dan sistematis. Kesejahteraan rakyat kian jauh dari jangakauan, terbang entah ke mana.

Tabiat buruk sebagian besar aktivis itu sepertinya tidak berlaku pada Rizal Ramli. Siapa saja yang rajin menelusuri rekam jejaknya, akan sangat sulit --untuk tidak menyebut mustahil-- menemukan langkah miring tokoh yang diganjar gelar Capres paling ideal oleh The President Centre ini. Selama puluhan tahun, pria yang akrab disapa RR tersebut selalu setia di track yang sama. Menentang penindasan rakyat oleh siapa pun dan atas nama apa pun. Penasehat ekonomi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) ini terus saja menapaki jalan terjal penuh rintangan. Jalan yang membuat Indonesia maju dan rakyatnya sejahtera.

Tentu saja, konsisten adalah sesuatu yang amat berharga. Ia kini menjadi barang langka, di tengah perilaku tak elok yang secara berjamaah dipertontonkan para pejabat publik. Tapi buat Rizal Ramli, sikap konsisten yang menjadi kekuatannya itu, ternyata sekaligus menjadi titik lemah baginya. Paling tidak, begitulah pendapat Jeffrey Winters. Dia tidak bergeser dari prinsipnya untuk berkompromi, kendati hal itu dimaksudkan sekadar keperluan taktis.

Menurut Jeffery, kekuatan RR adalah konsistensi dan keberpihakannya pada rakyat dan kepentingan nasional. Dia juga konsisten melakukan perlawanan terhadap penguasa. Padahal, yang namanya iming-iming bukan tidak pernah disodorkan kepadanya. Pernah, begitu keluar dari penjara Sukamiskin pada 1979, Soeharto mengirim Sekjen Golkar Sarwono Kusumaatmaja untuk menawarkan posisi calon jadi DPR Golkar. Rizal Ramli dan tiga temannya menampik tawaran itu. Ehem… bandingkan bagaimana para aktivis yang pasca reformasi yang kini bertengger di kursi empuk kekuasaan legislatif dan eksekutif.

Harus Bermanfaat

Kembali soal ambisi terhadap jabatan dan kekuasaan, lagi-lagi Ketua Umum Aliansi Rakyat untuk Perubahan (ARUP) ini memang bisa disebut makhluk langka. Dulu, di awal kemenangan kaum reformis setelah menumbangkan Soeharto, dia menepis tawaran Amin Rais dan Arnold Baramuli untuk menjadi menteri BJ Habibie.  Dia juga menampik tawaran SBY untuk menjadi Menteri Perindustrian dan Ketua Dewan Pertimbangan Presiden.


Yang terbaru, Rizal Ramli menolak tawaran dari kepala staf Sekjen PBB untuk memimpin Economic & Social Commission of Asia and Pacific (ESCAP) alias Komisi Sosial Ekonomi Asia Pasifik.

Asal tahu saja, ESCAP bukanlah lembaga ecek-ecek. ESCAP adalah satu dari lima komisi kawasan yang dimiliki Dewan Ekonomi Sosial PBB atau ECOSOC. Didirikan pada 1947, ESCAP kini punya 53 anggota negara dan sembilan anggota asosiasi. Kantor pusat ESCAP di Bangkok, Thailand. Saat ini dipimpin oleh Sekretaris Eksekutif Noeleen Heyzer dari Singapura.

“Saya sangat berterima kasih dan merasa terhormat atas tawaran jabatan yang prestisius itu. Namun, saya menolak karena masalah dan tantangan di Indonesia jauh lebih besar. Diperlukan kesungguhan untuk membuat Indonesia menjadi negara hebat di Asia,” ujar Rizal Ramli yang juga Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.

Pelajaran apa yang bisa kita petik dari penolakan Rizal Ramli terhadap begitu banyak jabatan penting dan bergengsi? Dia tidak gila kekuasaan. Tidak banyak orang di dunia ini, khususnya di Indonesia, yang pernah menolak tawaran jabatan bergengsi. Yang terjadi justru sebaliknya, mereka berlomba-lomba merengkuh jabatan dengan menghalalkan segala cara.

Kendati demikian, bukan berarti RR selalu menampik jabatan yang disorongkan kepadanya. Kadang dia juga mau. Tapi  Rizal Ramli  hanya bersedia menerima jabatan publik jika posisi itu bisa membantunya mengubah Indonesia menjadi lebih baik. Sejarah mencatat dia menjadi Kepala Badan Urusan Logisitik (Bulog), Menteri Koordinator Perekonomian, dan akhirnya Menteri Keuangan. Capres paling reformis versi Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) itu pun pernah menjadi Preskom PT Semen Gresik. Benang merahnya, di mana pun berada dia selalu all out, berkerja keras dan cerdas dengan prestasi jauh di atas rata-rata.

Untuk sepak terjang dan rekam jejak Rizal Ramli, silakan baca Rizal Ramli, Lokomotif Perubahan; Langkah Strategis dan Kebijakan Terobosan. Juga bisa disimak pada judul Rizal Ramli, "Indonesia Makmur dan Digjaya di Asia". Kita juga bisa menyaksikannya melalui audio-visual: 




Inilah perbedaan utama Rizal Ramli dengan nama-nama yang bersliweran di media massa, cetak dan elektronik. Publik dengan mudah dapat menilai kualitas masing-masing individu. Tanpa bermaksud menghakimi yang lainnya, namun konsisten sepertinya sudah menjadi trade mark RR. Dia selalu meninggalkan jejak berupa keberpihakan kepada rakyat dengan jelas dan tegas.

Tapi mungkin layak disimak catatan Jeffrey buat pria yang di kalangan kaum Nahdiyin akrab disapa Gus Romli ini. Konsistensi adalah kekuatan sekaligus kelemahan Rizal Ramli. Hemmm…

---(Edy Mulyadi)
 Penulis adalah Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)

Sabtu, 07 Desember 2013

Termasuk SBY Harusnya Malu Kepada Mandela


[RR1online]:
NELSON Mandela, memang telah tiada. Namun sejarah peradaban telah mencatat dirinya sebagai sosok pejuang dan pemimpin besar, tidak hanya untuk negaranya Afrika Selatan, tetapi juga buat seluruh umat di dunia.

Jiwa keberanian dan perjuangannya telah terbukti begitu sangat mulia. Dan sungguh, Mandela benar-benar telah meninggalkan warisan yang sangat berharga buat kita semua dalam menegakkan perdamaian, rekonsiliasi, dan keadilan di muka bumi ini.

Meski berkat dari perjuangannya itu, Mandela dianugerahi Nobel Perdamaian tahun 1993, disusul setahun kemudian 1994 ia terpilih menjadi Presiden Afrika Selatan, yakni presiden kulit hitam pertama pasca rezim apartheid. Namun Mandela hanya ingin menjabat satu periode. Setelah lima tahun, ia pun menyatakan tak ingin lagi jadi presiden.

Padahal, jika saja Mandela haus kekuasaan dengan momen seperti itu, maka tentu mudah saja bagi Mandela untuk bisa terpilih kembali, atau bahkan menjadi Presiden Afrika Selatan seumur hidup sebagai penghargaan atas perjuangannya tersebut. Tetapi Nelson Mandela tidak memilih untuk mengikuti nafsu kekuasaan itu.

Bagaimana dengan para pemimpin di negara lain? atau bagaimana dengan figur-figur lainnya yang ngotot untuk maju menjadi presiden di sejumlah negara lainnya? Adakah yang meneladani karakter dan perjuangan Nelson Mandela tersebut?

Atau kita persempit saja pertanyaannya: Bagaimana dengan SBY? Adakah SBY sebelum menjadi presiden pernah berjuang seperti yang pernah dilakukan oleh Mandela hingga merasa patut untuk menjadi dan mempertahankan dirinya sebagai penguasa…? Atau bagaimana dengan figur-figur lainnya yang kini sudah pasang dada merasa lebih pantas memimpin negeri ini. Adakah mereka semuanya telah melakukan hal yang mirip dilakukan oleh Mandela???

Maaf… kalau ada yang tersinggung. Semua ini tercetus dalam pikiran saya adalah agar kita bisa menjadi negara dan bangsa yang betul-betul merdeka, maju dan berkembang, maka Mandela harus menjadi perbandingan. Olehnya itu, jika kita mau jujur menggali kata hati masing-masing, maka tentu kita akan menemui jawabannya, bahwa betapa seharusnya para elit di negeri ini merasa malu terhadap sosok Mandela. Bukankah Mandela kini sebagai ikon politik “pejuang rakyat” untuk skala dunia..???

Semoga menjelang Pilpres 2014 ini rakyat Indonesia bisa memilih pemimpin yang benar-benar bisa menyerupai, atau paling tidak mendekati dengan apa yang telah dilakukan oleh Nelson Mandela. Bukan sosok yang haus kekuasaan, apalagi berasal dari kalangan “perampok” uang negara. Dan marilah kita mencari Mandela-nya Indonesia…!!!

Salam Perubahan….!!!!
(map-ams)

Mendunia Ada Mandela, juga Soekarno. Untuk Sekarang di Indonesia Siapa..?


Kategori: Opini*
[RR1online]:
NELSON Mandela, mantan pemimpin kelompok perjuangan anti-apartheid di Afrika Selatan (Afsel), kini telah tiada. Mandela menghembuskan nafas terakhirnya Kamis malam, 5 Desember 2013, yakni setelah dirawat selama berbulan-bulan akibat infeksi paru-paru yang dideritanya.

Pada hari wafatnya, Presiden Afsel saat ini Jacob Zuma langsung mengumumkan kepergian Mandela. Ia mengatakan Mandela “pergi dengan damai. Bangsa kita kehilangan putra terbaiknya,” kata Zuma.

Hm, mari kita sedikit meluruskan pengumuman Zuma. Bahwa bukan hanya Afsel yang kini merasa kehilangan. Tetapi dunia juga dipastikan sangat kehilangan sosok pejuang terbesar yang mampu mengubah karakter sosial dunia ini.

Ya, Mandela adalah perjuang yang mewujudkan Afrika Selatan sebagai negara demokratis, yakni tidak dipisahkan oleh ras. Dan sungguh tak gampang perjuangan seperti itu ditempuh, sebab ia harus mengorbankan dirinya di penjara selama 27 tahun di bawah rezim apartheid di Afrika Selatan.

Tepat pada 11 Februari 1990 Mandela dibebaskan, dan sekitar  50.000 orang pendukungnya sudah menunggu di luar penjara. Pada waktu itu Mandela mengatakan “perjuangan kita telah mencapai saat yang menentukan.”

Berkat perjuangannya, Mandela dianugerahi Nobel Perdamaian tahun 1993. Tahun 1994, ia terpilih menjadi Presiden Afrika Selatan, yakni presiden kulit hitam pertama pasca rezim apartheid. Namun Mandela menjabat hanya satu periode. Setelah lima tahun, ia tak mau lagi jadi presiden.

Di balik perjuangan Mandela, tentu ada pengorbanan darah dan air mata yang tak tercatat. Pernahkah kita membayangkan bagaimana rasanya hidup terpenjara selama 27 tahun, terpisah dari keluarga, anak dan istri, karena perjuangan yang kita yakini? Bagaimana bisa seseorang tetap teguh berjuang, tidak goyah, atau bahkan kemudian tidak menanam dendam kepada orang-orang yang telah memenjarakannya selama 27 tahun?

Namun, sebagai “pemenang sejarah”, Mandela tentu punya kesempatan untuk membalas dendam kepada rezim yang membuat hidupnya, dan kaum sebangsanya menjadi sengsara. Tapi Mandela tidak memilih jalan itu. Ia memilih jalan rekonsiliasi. Yakni dengan penuh keyakinan, Afrika Selatan ia tancapkan secara teguh sebagai negara yang harus dibangun bersama, tidak cuma oleh kaum kulit hitam, tapi juga kulit putih. Itulah kemuliaan seorang Mandela.

Kemuliaan lainnya, Mandela tidak haus kekuasaan. Buktinya, ia hanya berkuasa sebagai presiden selama satu periode. Sebagai sebagai pemimpin besar dan perjuangan persamaan hak yang mampu tampil sebagai “pemenang sejarah”, Mandela tentu bisa saja membuat dirinya jadi presiden seumur hidup. Tetapi itu tidak dilakukan oleh Mandela.

Dan sungguh, kemuliaan Mandela ini tak mampu diikuti oleh figur-figur lain ketika terlanjur menjabat sebagai pemimpin negara maka akan sulit untuk ingin dilepaskannya. Bahkan jika perlu dipertahankan sekeras mungkin. Sehingga sekali lagi, Mandela sama sekali tidaklah demikian. Ia tak tergoda memiliki kekuasaan untuk waktu yang panjang, apalagi jika ingin mempertahankannya.

Karena bagi Mandela ketika menjadi Presiden, ekonomi Afsel mengalami kemajuan. Mandela yakin betul, perekonomian yang kuat berhubungan erat dengan perkembangan politik negara. Berakhirnya sistem apartheid berarti terbukanya kesempatan yang luas bagi warga kulit hitam untuk bekerja, baik sebagai buruh maupun sebagai seorang profesional untuk kemajuan bersama, yakni tentunya dengan tanpa membedakan hak dan kewajiban setiap orang.

Di Indonesia, sebetulnya kita punya banyak pejuang yang memiliki jiwa pemberani seperti Nelson Mandela. Misalnya di masa lalu, salah satunya ada Soekarno. Bahkan di mata Mandela, sosok Soekarno adalah tokoh yang  mampu membakar semangatnya memperjuangkan rakyat Afsel.

Mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli punya catatan tersendiri tentang Mandela dan Soekarno. Yakni, kedua pejuang ini sama-sama hebat, karena sama-sama pemberani dalam memperjuangkan sebuah kemerdekaan atas segala bentuk penjajahan dan penindasan.

Dikatakannya, berkali-kali diancam akan dibunuh oleh lawan politiknya, Mandela tak kendur berjuang, begitupun dengan Soekarno. Sebab, keberanian Mandela menegakkan kebenaran ini juga yang diajarkan oleh Presiden Soekarno buat bangsa ini dan dunia internasional. Ia tahu akan dibunuh, seperti halnya Mandela, Bung Karno tidak mengeluh dan tak gentar. “Jiwa pejuang dan pemberani dari kedua tokoh inilah yang patut kita teladani,” lontar Rizal Ramli.

Setelah Soekarno, siapa lagi sosok yang memiliki jiwa perjuangan dan pemberani yang dimiliki Indonesia di zaman sekarang..??

Sebetulnya masih ada. Tapi dalam suasana politik seperti ini, maka sejumlah pihak tentu hanya akan memandang sinis beberapa sosok pejuang dan pemberani yang masih kita punyai itu. Dan inilah kelemahan kita di Indonesia yang kerap merasa masing-masing lebih “jago” dan merasa lebih “mulia” dalam bertindak.

Tetapi jika kita mau jujur, sesungguhnya, Indonesia memang masih memiliki sejumlah sosok pemberani yang juga masih senantiasa tetap berjuang untuk negeri ini. Salah satunya yang sangat menonjol adalah Rizal Ramli.

Maaf… ini bukan bermaksud mengultuskan seseorang, tetapi ini adalah sebuah pembenaran sejarah. Bahwa, eksistensi perjuangan Rizal Ramli memang sejak dulu juga telah ia mulai dengan sepenuh jiwa memperjuangkan hak-hak rakyat, hingga pula harus mendekam dalam penjara. Sama persis yang dialami oleh Nelson Mandela. Hanya saja memang skala kondisi dan waktunya berbeda dengan yang dialami dan yang dirasakan oleh Rizal Ramli.

Tapi mari kita menengok secuil sejarah Mandela.  Bahwa Mandela sempat kuliah di Universitas Witwatersrand jurusan hukum tahun 1943. Meski dia keluar dari kampus itu tahun 1948 karena kekurangan biaya, juga paling tidak karena telah banyak aktif sebagai seorang aktivis menentang pemerintahan (persis yang dihadapi oleh Rizal Ramli).

Dan di kampus dengan beragam etnis itu, Mandela melihat situasi Afrika yang radikal, liberal, rasis dan diskriminatif. Dari sinilah sikap anti apartheid-nya muncul.

Setelah serangkaian demonstrasi dan aksi, dia pun divonis seumur hidup pada Pengadilan Rivonis tahun 1962 karena Mandela dinilai telah melakukan percobaan menggulingkan pemerintahan. (Sekali lagi ini persis dengan sejarah yang pernah dilalui oleh Rizal Ramli)

Saya tidak bermaksud pula untuk menyejajarkan Rizal Ramli dengan Mandela atau Soekano. Tetapi saya yakin, Mandela dan Soekarno tentu sangat bangga jika mengetahui bahwa masih ada sosok pemberani yang setiap saat senantiasa berjuang tanpa putus untuk kepentingan orang banyak.

“Selamat jalan Mandela. Kami akan selalu melanjutkan perjuanganmu demi mengangkat harkat dan martabat manusia di muka bumi ini,” lontar Rizal Ramli.

Menurut Rizal Ramli, kebesaran dan kehebatan Mandela sebagai pemimpin dunia yang amanah, antikekerasan, humanis dan adil bijaksana tak cukup hanya dikenang masyarakat internasional, tapi harus menjadi teladan.

“Mati dan hidup ada di tangan Tuhan. Kalau saya harus mati ditembak, ya saya akan mati tertembak. Tapi kalau takdir saya tidak mati tertembak, biarpun ditembak berkali-kali, Insya Allah saya tidak akan mati,” ujar Rizal Ramli yang kini ikut didorong oleh akademisi dan aktivis pergerakan untuk maju sebagai calon presiden, mengutip pernyataan Soekarno.
-----------
*Penulis Artikel: Abdul Muis Syam