Jumat, 27 Desember 2013

SJSN Hanya Fatamorgana, BPJS Cuma Akan Jadi= “Badan Pengkhianat Jaminan Sosial”

Kategori: Opini*
[RR1online]:
BERMULA dari Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan tentang pentingnya pengembangan Konsep Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Pernyataan Presiden (Alm) Gus Dur itupun kemudian direalisasikan melalui upaya penyusunan konsep (rancangan) tentang Undang-Undang Jaminan Sosial (UU JS) oleh Kantor Menko Kesra (Kep. Menko Kesra dan Taskin No. 25KEP/MENKO/KESRA/VIII/2000, tanggal 3 Agustus 2000, tentang Pembentukan Tim Penyempurnaan Sistem Jaminan Sosial Nasional).

Sejalan dengan pernyataan Presiden ke 4 Indonesia tersebut, DPA-RI melalui Pertimbangan DPA RI No. 30/DPA/2000, tanggal 11 Oktober 2000, menyatakan perlu segera dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat sejahtera.

Dalam Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001 (Ketetapan MPR RI No. X/MPR-RI Tahun 2001 butir 5.E.2) dihasilkan Putusan Pembahasan MPR-RI yang menugaskan Presiden RI “Membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang lebih menyeluruh dan terpadu”.

Pada 2001, Wapres Megawati Soekarnoputri mengarahkan Sekretarisnya untuk membentuk Kelompok Kerja Sistem Jaminan Sosial Nasional (Pokja SJSN - Kepseswapres, No. 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001 jo. Kepseswapres, No. 8 Tahun 2001, 11 Juli 2001) yang diketuai Prof. Dr. Yaumil C. Agoes Achir dan pada Desember 2001 telah menghasilkan naskah awal dari Naskah Akademik (NA) SJSN.

Kemudian pada perkembangannya Presiden RI yang pada saat itu Megawati Soekarnoputri meningkatkan status Pokja SJSN menjadi Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (Tim SJSN-Keppres No. 20 Tahun 2002, 10 April 2002).

“NA SJSN merupakan langkah awal dirintisnya penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) SJSN. Setelah mengalami perubahan dan penyempurnaan hingga 8 (delapan) kali, dihasilkan sebuah naskah terakhir NA SJSN pada tanggal 26 Januari 2004. NA SJSN selanjutnya dituangkan dalam RUU SJSN,” ujar Sulastomo, salah satu TIM Penyusun UU SJSN pada saat itu.

Konsep pertama RUU SJSN, 9 Februari 2003, hingga Konsep terakhir RUU SJSN, 14 Januari 2004, yang diserahkan oleh Tim SJSN kepada Pemerintah, telah mengalami 52 (lima puluh dua) kali perubahan dan penyempurnaan. Kemudian setelah dilakukan reformulasi beberapa pasal pada Konsep terakhir RUU SJSN tersebut, Pemerintah menyerahkan RUU SJSN kepada DPR-RI pada tanggal 26 Januari 2004.

Selama pembahasan Tim Pemerintah dengan Pansus RUU SJSN DPR-RI hingga diterbitkannya UU SJSN telah mengalami 3 (tiga) kali perubahan. Sehingga dalam perjalanannya, Konsep RUU SJSN hingga diterbitkan menjadi UU SJSN telah mengalami perubahan dan penyempurnaan sebanyak 56 kali. Hingga Presiden Megawati pun akhirnya mensahkan UU No. 40/2004 tentang SJSN di detik-detik akhir jabatannya, yakni pada 19 Oktober 2004.

Dan ketika itu, rakyat tentu saja terasa akan menemukan “mata air di gurun”. Sekaligus dengan UU SJSN ini diyakini akan menghapus pandangan miring mata dunia selama ini kepada Indonesia sebagai ”negara tanpa jaminan sosial”.

Sejak disahkan dan diundangkan UU SJSN telah melalui proses yang panjang, dari tahun 2000 hingga tanggal 19 Oktober 2004. Dengan demikian proses penyusunan UU SJSN memakan waktu 3 (tiga) tahun 7 (tujuh) bulan dan 17 (tujuh belas) hari sejak Kepseswapres No. 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001.

Namun apakah “nyawa” UU SJSN ini sudah langsung dapat menghidupi dan memberi jaminan sosial kepada rakyat..???

BELUMM….!!!! Sebab, sekitar 3 bulan perjalanan penguasa baru (Pemerintahan SBY) atau pada Januari 2005, UU SJSN kembali terusik. Sebab kebijakan ASKESKIN (Asuransi Kesehatan Keluarga Miskin) mengantar beberapa daerah ke MK untuk menguji UU SJSN terhadap UUD Negara RI Tahun 1945. Penetapan 4 BUMN sebagai BPJS dipahami sebagai monopoli dan menutup kesempatan daerah untuk menyelenggarakan jaminan sosial.

Selanjutnya, pada 31 Agustus 2005, MK menganulir 4 ayat dalam Pasal 5 yang mengatur penetapan 4 BUMN tersebut dan memberi peluang bagi daerah untuk membentuk BPJS Daerah (BPJSD).

Putusan MK dinilai makin memperumit penyelenggaraan jaminan sosial di masa transisi. Pembangunan kelembagaan SJSN yang semula diatur dalam satu paket peraturan dalam UU SJSN, kini harus diatur dengan UU BPJS. Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) pun akhirnya baru terbentuk. Pemerintah secara resmi membentuk DJSN lewat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 110 tahun 2008 tentang pengangkatan anggota DJSN tertanggal 24 September 2008.

Pembahasan RUU BPJS berjalan alot. Namun dua Pembantu Presiden yang telah membentuk Tim Kerja, yakni Menko Kesra Meneg BUMN tidak menghasilkan titik temu. RUU BPJS tidak selesai dirumuskan hingga tenggat peralihan UU SJSN pada 19 Oktober 2009 terlewati.

Perhatian pun tertumpah pada RUU BPJS sehingga perintah dari 21 pasal yang mendelegasikan peraturan pelaksanaan terabaikan. Hasilnya, penyelenggaraan jaminan sosial Indonesia gagal menaati semua ketentuan UU SJSN yaitu 5 tahun.

Tahun berganti, namun “air di gurun” itu tak kunjung terlihat. Kondisi ini kemudian memaksa para tokoh pejuang sosial seperti DR. Rizal Ramli, Rieke Diah Pitaloka, Prof. Hasbullah Thabrany, Mudasir dan lainnya bersama kalangan buruh dan sejumlah aktivis LSM mendesak dengan melakukan aksi demo berkali-kali. Bahkan Ketua Umum KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia) Ir. Said Iqbal begitu sangat militan menggerakkan para Buruh tanpa lelah di lapangan mendesak pemerintah agar RUU BPJS segera disahkan demi menjalankan UU SJSN kepada seluruh rakyat Indonesia.

DPR lalu mengambil alih perancangan RUU BPJS pada 2010. Perdebatan konsep BPJS kembali mencuat ke permukaan sejak DPR mengajukan RUU BPJS inisiatif DPR kepada Pemerintah pada Juli 2010. Bahkan zona perdebatan bertambah lebar, selain bentuk badan hukum, Pemerintah dan DPR tarik-menarik menentukan siapa BPJS dan berapa jumlah BPJS. Dikotomi BPJS multi dan BPJS tunggal pun diperdebatkan dengan sengit.

Setelah melalui proses panjang dan melelahkan, puluhan kali rapat yang setidaknya dilakukan tak kurang dari 50 kali pertemuan di tingkat Pansus, Panja, hingga proses formal lainnya. Termasuk di kalangan lingkup empat BUMN penyelenggara program jaminan sosial, yakni PT Jamsostek, PT Taspen, Asabri, dan PT Askes.Yang di dalamnya semuanya terdapat pro dan kontra seputar BPJS. Namun pada 29 Oktober 2011, DPR-RI akhirnya sepakat mengesahkannya menjadi UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS.

Meski bukan sesuatu yang mudah, namun keberadaan BPJS mutlak ada sebagai implementasi dari UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN tersebut, yang sepatutnya telah harus dijalankan sejak 9 Oktober 2009.

Lalu, apakah “nadi” UU SJSN ini sudah dapat berdenyut tanda dimulainya dilaksanakan Jaminan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia..???

LAGI-LAGI BELUMMM…!!!! Sebab, meski BPJS telah diterbitkan dalam sebuah UU formal, jalan terjal nan berkelok di depan ternyata masih harus dilalui. Segunung pekerjaan rumah (PR) masih harus dibenahi demi terpenuhinya hak rakyat atas jaminan sosial.

PR tersebut seperti, Dewan Komisaris dan Direksi PT Askes (Persero) dan PT Jamsostek (Persero) ditekankan oleh UU BPJS untuk menyiapkan berbagai hal yang diperlukan untuk berjalannya proses tranformasi atau perubahan dari Persero menjadi BPJS dengan status badan hukum publik. Perubahan tersebut mencakup struktur, mekanisme kerja dan juga kultur kelembagaan.

Mengubah struktur, mekanisme kerja dan kultur kelembagaan yang lama, yang sudah mengakar dan dirasakan nyaman, sering menjadi kendala bagi penerimaan struktur, mekanisme kerja dan kultur kelembagaan yang baru, meskipun hal tersebut ditentukan dalam Undang-Undang.

Pada Pasal 62 ayat (1) UU BPJS: “PT Jamsostek (Persero) berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan pada tanggal 1 Januari 2014”. Dan BPJS Ketenagakerjaan ini menurut Pasal 64 mulai beroperasi paling lambat tanggal 1 Juli 2015.

Dan dalam waktu dekat ini Pasal 60 ayat (1) akan segera dilaksanakan, yakni: “BPJS Kesehatan mulai beroperasi menyelenggarakan program jaminan kesehatan pada tanggal 1 Januari 2014”

Namun apakah rakyat dengan hati riang gembira akan menyambut pemberlakuan BPJS Kesehatan tanggal 1 Januari 2014 tersebut....????

Heiitt… tunggu dulu..!!! Mari kita tengok, mengapa kemudian banyak kalangan yang menolak SJSN dan BPJS ini?

Pertama UU SJSN dan BPJS ini menurut saya tidak memenuhi unsur dan rasa keadilan bagi seluruh Rakyat Indonesia. Sebab, menjelang BPJS Kesehatan beroperasi dalam menyelenggarakan program jaminan kesehatan tanggal 1 Januari 2014, Presiden SBY pada 16 Desember 2013 ternyata telah menandatangai dua Perpres. Yakni Perpres No.105 Tahun 2013 dan Perpres No.106 Tahun 2013.

Perpres No.105 Tahun 2013, SBY sebagai presiden menetapkan dan memutuskan untuk memberikan pelayanan kesehatan paripurna (lengkap dan penuh) melalui mekanisme asuransi kesehatan buat Menteri dan Pejabat Tertentu. Yakni yang disebut Menteri adalah menteri yang memimpin kementerian dan pejabat yang diberi kedudukan atau hak keuangan dan fasilitas setingkat menteri. Sedangkan Pejabat Tertentu adalah pejabat yang memimpin lembaga pemerintah non kementerian, pejabat eselon I, dan pejabat yang diberikan kedudukan atau hak keuangan dan fasilitas setingkat eselon I.

Sedangkan Perpres No. 106/2013 tentang Jaminan Pemeliharaan Kesehatan adalah bagi pimpinan lembaga negara, yang meliputi Ketua, Wakil Ketua dan Anggota DPR-RI; Dewan Perwakilan Daerah (DPD); Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK); Komisi Yudisial (KY); Hakim Mahkamah Konstitusi (MK); dan Hakim Agung Mahkamah Agung.

“Ketua, Wakil Ketua dan Anggota DPR-RI; Dewan Perwakilan Daerah (DPD); Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK); Komisi Yudisial (KY); Hakim Mahkamah Konstitusi (MK); dan Hakim Agung Mahkamah Agung diberikan pelayanan kesehatan paripurna melalui mekanisme asuransi kesehatan, yang merupakan peningkatan manfaat pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan,” bunyi Pasal 2 Perpres No. 106/2013 itu. Seperti dilansir dalam laman setkab.

Perpres tersebut diterbitkan, sebab pemerintah mempertimbangkan risiko dan beban tugas para pejabat negara tersebut untuk perlu mendapatkan sinkronisasi pengaturan penyelenggaraan jaminan pemeliharaan diri.

Dalam Perpres disebutkan para menteri dan pejabat berhak memperoleh pelayanan kesehatan paripurna atau pensiun. Hal ini termasuk pelayanan kesehatan rumah sakit di luar negeri yang dilakukan dengan mekanisme penggantian biaya.

“Pelayanan kesehatan juga diberikan kepada keluarga menteri dan pejabat tertentu, dan keluarga ketua, wakil ketua dan anggota DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksaan Keuangan, Komisi Yudisial, Hakim Mahkamah Konstitusi, dan Hakim Agung,” demikian bunyi perpres yang dirilis laman resmi Sekretariat Kabinet RI, Senin (23/12).

Anggaran penyelenggaraan pelayanan kesehatan paripurna bagi para pejabat tersebut akan dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Adapun, untuk pejabat daerah di bebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).

Woww…sungguh amat senang tiada tara jadi pejabat negara!?! Gaji dan penghasilannya sudah tinggi malah di-plus..plus..plus dan plus lagi dengan fulus negara yang seharusnya masih bisa dibiayai sendiri oleh para pejabat tersebut. Padahal, sejauh ini mereka disumpah untuk lebih mengutamakan kepentingan rakyat, tapi kenyataannya justru seakan lebih mendahulukan kepentingannya sendiri.

Sementara itu, perusahaan asuransi yang memenangi tender jaminan kesehatan untuk pejabat tinggi adalah PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo). Masa pertanggungan berlaku selama 1 tahun, dimulai sejak 1 Januari 2014.

Dihubungi terpisah, Direktur Operasi Ritel Jasindo Sahata L. Tobing, dilansir bisnisindonesia, mengatakan nilai premi yang didapat adalah sebesar Rp112 miliar untuk sekitar 5.500 pejabat. Nilai premi per orang rata-rata mencapai Rp20 juta pertahun.

Alasan kedua, mengapa SJSN dan BPJS merasa patut ditolak adalah karena adanya pembebanan iuran. Koordinator Lapangan Aksi Serikat Pekerja Nasional, Asep Saefuloh, seperti dilansir Poskota, menilai SJSN dan BPJS tidak mengatur prinsip-prinsip jaminan sosial, akan tetapi lebih berorientasi pada kepentingan bisnis semata. Buktinya, dalam UU No 40 tahun 2004 tentang SJSN, pasal 17 menegaskan setiap peserta wajib membayar iuran. “Artinya di sini rakyat dimandirikan dan negara melepaskan tanggung jawab untuk memberikan jaminan sosial kepada rakyat. Rakyat disuruh membayar iuran, nah tanggung jawab negara di mana?,” tuturnya.

Dan saat ini, Pemerintah telah menyepakati besaran iuran premi kepesertaan BPJS Kesehatan pekerja informal, yaitu Rp25.500 per bulan untuk layanan rawat inap kelas III, Rp42.500 untuk kelas II dan Rp59.500 untuk kelas I. Seperti dikutip metrotvnews.

Celakanya, rakyat sebagai peserta BPJS Kesehatan apabila tidak membayar iuran akan dikenakan sanksi (hukuman). Yakni Pasal 11 UU BPJS: ”Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, BPJS berwenang untuk”: huruf (f): “mengenakan sanksi administratif kepada Peserta atau Pemberi Kerja yang tidak memenuhi kewajibannya;” serta huruf (g): “melaporkan Pemberi Kerja kepada instansi yang berwenang mengenai ketidakpatuhannya dalam membayar Iuran atau dalam memenuhi kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;..”

Selanjutnya Pasal 16 ayat (1) UU BPJS: “Setiap orang, selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan penerima Bantuan Iuran, yang memenuhi persyaratan kepesertaan dalam program Jaminan Sosial wajib mendaftarkan dirinya dan anggota keluarganya sebagai Peserta kepada BPJS, sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti.”

Pasal 17 ayat (1) UU BPJS: “Pemberi Kerja selain penyelenggara negara yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dan setiap orang yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dikenai sanksi administratif.” Kemudian ayat (2): “Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. teguran tertulis; b. denda; dan/atau c. tidak mendapat pelayanan publik tertentu.”

Coba simak Pasal ada 19 ayat (1) UU BPJS: “Pemberi Kerja wajib memungut Iuran yang menjadi beban Peserta dari Pekerjanya dan menyetorkannya kepada BPJS.” Dan ayat (2): “Pemberi Kerja wajib membayar dan menyetor Iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS.”

Pasal 19 ayat 1 dan 2 di atas adalah boleh dikata sebagai pasal “PEMAKSAAN DAN PENCENGKERAMAN”, karena diikuti dengan KETENTUAN PIDANA. Yakni Pasal 55: “Pemberi Kerja yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Mengetahui adanya KEWAJIBAN besaran iuran seperti itu, tentu saja istilah “Jaminan Sosial” tidak terpenuhi, bahkan boleh dikata yang ada hanyalah PENINDASAN dan PENGKHIANATAN terhadap rakyat. Sebab, harusnya UU “Jaminan Sosial” disusun dan diterbitkan untuk supaya TIDAK MENAMBAH KESUSAHAN RAKYAT.

Olehnya itu, UU SJSN dan BPJS ini patut diduga istilah: “Jaminan Sosial” hanya sebagai kedok pemerintahan SBY untuk bisa lebih leluasa menghisap uang rakyat agar kiranya mungkin dapat digunakan dalam Pemilu 2014, dengan mungkin menjadikan BPJS sebagai “penampungnya”. Boleh jadi kan…??? Dan jika ini yang terjadi…maka BPJS boleh jadi juga = (sama dengan) Badan Pembantu Jaring Suara (pada Pemilu).

Sehingga itu SJSN ini ibarat hanya sebagai fatamorgana, dan BPJS cuma seakan sama dengan (=) Badan Pengkhianat Jaminan Sosial.

Jika begitu, maka lebih baik rakyat menggunakan uang mereka untuk keperluan yang lebih mendesak, misalnya beli tempe, bayar rekening PLN, PAM, bayar cicilan motor, atau bahkan lebih baik ditabung sendiri untuk diputar sebagai modal usaha kecil-kecilan, daripada harus disetor ke BPJS (yang nota bene bukan lagi BUMN) yang boleh jadi pada akhirnya hanya menjadi ladang korupsi bagi para koruptor.

“Dulu pada nggak setuju (mengulur-ulur waktu). Begitu jadi Undang-undang, (malah) ditunggangi pejabat (untuk kepentingannya). Sadis..!!??!!” ujar Rizal Ramli kepada penulis via BlackBerry Massenger, Kamis (26/12/2013).

Kasihan negeri ini. Apa iya pemerintah yang sedang berkuasa saat ini dipikirannya cuma selalu ingin membodoh-bodohi dan mengkhianati rakyatnya…????
-----------

*Sumber: Kompasiana

Selasa, 17 Desember 2013

Mendukung Gerakan Perubahan Rizal Ramli Lebih Mencerdaskan




DEMI
menarik simpati rakyat, semua figur dari kalangan parpol yang akan maju melangkah sebagai calon presiden (capres) 2014 saat ini sudah mulai berlomba-lomba menyuarakan kata “Perubahan”. Mereka tahu, bahwa rakyat kita saat ini sangat butuh dengan “Perubahan”.

Tapi tahukan, makna di balik “perubahan” seperti apa yang dikehendaki oleh para figur yang berada di lingkaran parpol…??? Ya, bagi mereka, perubahan = merebut dan meraih/mempertahankan kekuasaan (titik)!?!

Kalau bukan karena hanya untuk merebut dan meraih atau mempertahankan kekuasaan, maka arti “perubahan” apalagi yang dimaksud oleh para figur parpol tersebut..??? Bukankah sejauh ini mereka dan parpolnya sudah mendapat posisi legislatif (di DPR/DPRD) dan juga sebagai eksekutif (di kabinet)..??? dan bahkan di antaranya ada yang mengisi posisi di lembaga yudikatif…??? Atau jangan-jangan sudah ada dari kalangan parpol yang mengisi salah satu posisi di lembaga superbody-KPK..???

Jika demikian, maka seharusnya mereka sudah bisa melakukan perubahan dan perbaikan secara mudah untuk kemajuan bangsa dan negara ini sejak dulu..!!! Tapi kenyataannya, betapa sangat disayangkan kondisi saat ini justru makin parah dan sangat jauh dari yang diharapkan rakyat.

Saat ini mereka malah hanya berlomba-lomba memajang tampan dan menyuarakan “perubahan”, melalui iklan di media cetak dan elektronik, memasang baliho, dan lain sebagainya. Padahal mereka saat ini masih punya kesempatan melakukan perubahan, yaitu dengan melalui posisi dan jabatan yang masih diembannya. Lalu, mengapa mereka kini justru lebih memilih fokus melakukan pencitraan daripada menunaikan amanah yang sudah diberikan oleh rakyat..???

Sungguh semuanya sangatlah mudah dijawab. Yakni sekali lagi, bahwa kata “perubahan” yang mereka suarakan saat ini adalah hanya sebuah pencitraan untuk merebut dan meraih/mempertahankan kekuasaan (titik)!?!

Singkat kata, “perubahan” yang kini giat disuarakan oleh para figur parpol tersebut tak lain karena hanya lebih banyak didorong oleh panggilan “tugas dan kewajiban” sebagai kader parpol, yakni agar mereka dan parpol mereka bisa berjaya dalam Pemilu 2014. Bohong kalau tidak..?!!

Sehingga itu, lontaran “perubahan” dari para figur parpol itu sesungguhnya hanyalah sebatas ungkapan yang justru menunjukkan ambisi besar untuk memperoleh kekuasaan besar pula. Parpol adalah sebagai wadahnya, dan uang adalah alat untuk memenangkan persaingan melawan parpol lainnya, yaitu melalui “jual-beli” suara dari rakyat.

Jika parpol dan uang sudah saling mendukung secara maksimal, maka “perubahan” akan mudah diraih, yakni “perubahan” dalam bentuk kekuasaan yang tidak lain untuk kepentingan kelompoknya saja. Dan beginilah realita dari pertunjukan demokrasi kita selama ini..!

Sangat aneh dan lucu rasanya jika seseorang elit yang diketahui parpolnya masih berada dalam lingkaran (koalisi) kekuasaan saat ini, tiba-tiba memunculkan diri bagai pahlawan lalu bersuara dengan lantang menyerukan “perubahan”…?!!? Sungguh, kondisi seperti ini tidaklah mencerdaskan rakyat yang benar-benar mengharapkan perubahan mendasar dalam berbangsa dan bernegara.

Kalau memang menginginkan perubahan yang sebenarnya, maka lakukanlah secara totalitas selagi masih memiliki kekuasaan…!!! Atau perjuangkan dan gerakkanlah perubahan itu sejak awal sebagaimana yang dikehendaki oleh rakyat…!!!

Bicara mengenai “Perubahan”, maka DR.Rizal Ramli adalah sosok yang sesungguhnya paling pantas disebut sebagai “Pejuang Pergerakan Perubahan” sejati. Artinya, dibanding dengan ajakan “Perubahan” yang dilontarkan oleh figur parpol, maka seruan perubahan dari Rizal Ramli lebih sangat mencerdaskan dan tidak diragukan lagi kemurniannya.

Sebab, seruan “Perubahan” itu tidak hanya dikumandangkan Rizal Ramli pada saat ini saja, atau ketika mendekati pemilu, tetapi sudah diperjuangkannya sejak dahulu kala. Yakni dimulai ketika Rizal Ramli masih sebagai aktivis mahasiswa ITB 1977-1978 dengan melalui berbagai pergerakan dan aksi menuntut adanya “Perubahan”. Artinya, Rizal Ramli telah memperjuangkannya selama hampir 40 tahun.

Yakni bermula ketika Rizal Ramli sebagai mahasiswa ITB, bersama temannya, Adi, berkeliling Pulau Jawa menggunakan sepeda motor, menumpang kereta api dan truk. Layaknya kisah Che Guevara yang sebelum menjadi revolusioner di Kuba, sempat juga mengelilingi Amerika Latin dengan sepeda motor bersama Alberto Granado.

Dari pengembaraannya itu, Rizal Ramli tentunya bisa menyaksikan langsung kondisi ketimpangan sosial-ekonomi yang memprihatinkan dan amat suram di kalangan rakyat Indonesia. Dari situlah, jiwa perjuangannya bergelora dan bertekad untuk tampil menjadi memimpin di negerinya, yakni dengan memperjuangkan lahirnya PERUBAHAN sebagaimana yang diharapkan oleh rakyat.

Meski kehidupannya juga terbilang sangat sulit karena sebagai yatim-piatu yang masih aktif kuliah, Rizal Ramli tentunya mau tak mau harus bisa menambal hidupnya dengan kerja keras. Sempat jadi mandor percetakan, kuli pasar, hingga mengajar kursus Bahasa Inggris.

Semangat untuk melakukan perubahan begitu sangat tinggi. Rizal Ramli bersama para rekan sejawatnya, di antaranya Abdulrachim, Indro Tjahyono, dan lainnya pun mengadakan suatu gerakan politik besar yang dinamai “GERAKAN ANTI KEBODOHAN pada 1976. Gerakan inilah yang berlanjut menjadi Konsolidasi Dewan Mahasiswa pada 1977 yang diwarnai dengan aksi sepenuhnya pro-rakyat hingga 1978 secara signifikan melawan segala bentuk kebijakan rezim Orde-Baru (Orba) yang dinilai sangat korup.

Tak hanya lewat aksi yang kerap digelar, Rizal Ramli bersama para aktivis lainnya pun sempat menulis dan mengetik “Buku Putih Perjuangan Mahasiswa” 1977-1978 yang berhasil diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman, Rusia, China dan belasan bahasa negara lainnya.

Buku tersebut merupakan sebuah seruan besar kepada negara untuk mengganti haluan ekonomi politiknya dan segera membersihkan diri dari korupsi yang berlebihan. Rizal Ramli adalah salah satu pimpinan gerakan PERUBAHAN tersebut, 35 tahun yang lalu. Ke mana ketika itu para figur parpol yang kini ngotot ikut Pilpres dan merasa lebih pantas menjadi capres saat ini…????

Akibat dari perjuangannya yang begitu gigih, Rizal Ramli dan sejumlah kawannya pun dijebloskan ke dalam bui. Sebab, aksi dan seruan Rizal Ramli bersama aktivis lainnya dalam memperjuangkan lahirnya “Perubahan” sosial-ekonomi-politik secara menyeluruh dinilai telah menyakiti penguasa Orba.

Namun dengan di penjara, tidaklah membuat perjuangan Rizal Ramli jadi terputus. Selepas dari penjara di Sukamiskin-Bandung, ia membenahi diri. Hingga kemudian berkat niat serta cita-cita perjuangannya yang tulus dan mulia itu, Tuhan pun memberinya jalan kemudahan. Yakni berhasil mendapatkan bea-siswa di Ford-Foundation studi di University Boston-AS hingga meraih gelar Doktor Ekonomi.

Babak baru perjuangannya pun ia lanjutkan. Yakni berkiprah di dunia bisnis konsultan. Pernah menjadi penasehat fraksi ABRI di MPR tahun 1990-an, dan pengajar SESKOAD. Di sanalah Rizal Ramli mulai berkenalan dengan para perwira tinggi (termasuk SBY) dan sejumlah Jenderal lainnya. Dan momen seperti itu membuat jiwa Rizal Ramli kembali termotivasi untuk segera melakukan gerakan PERUBAHAN dalam sistem Orde Baru. Yakni dengan menurunkan Suharto lalu mengganti sistem ekonomi politiknya.

Tahun 1998, bersama para mahasiwa berbagai spektrum yang bergerak di kalangan rakyat, Suharto pun akhirnya tumbang setelah selama 32 tahun penuh berkuasa. Dan tentu saja ada kisah yang tak sempat tercatat dalam sejarah pergerakan Rizal Ramli, di antaranya adalah mengenai luka darah dan nanah akibat penyiksaan, penderitaan, kepahitan, perut keroncongan, dikejar-kejar dalam hujan dan panas, serta tentang kerinduan; merindukan belaian kasih sayang orang-tua yang menyatu dengan kerinduan untuk mempersembahkan yang terbaik untuk negeri ini.

Suharto lengser , wakilnya BJ Habibie naik sebagai Presiden. Tak lama, Presiden Habibie menawari Rizal Ramli menjadi menteri, tapi ia tolak, takut dinilai ia berjuang hanya untuk mendapat jabatan. Hingga kepada Presiden Gus Dur menawari menjadi Dubes, lagi-lagi Rizal Ramli menolaknya karena alasan lebih tertarik berjuang di dalam negeri sendiri. Tak hanya sampai di situ, Gus Dur kemudian menawarkan ke BPK, namun kembali Rizal Ramli menolaknya.

Gus Dur kemudian “menodongnya” menjadi Kepala Bulog, Rizal Ramli akhirnya sulit menolak untuk kesekian kalinya. Setelah sukses memimpin Bulog, Rizal Ramli kemudian diangkat menjadi menteri oleh Gus Dur untuk melakukan PERUBAHAN yg memang diidamkannya sejak lama. Sayangnya, era Presiden Gus Dur termasuk sangat singkat seiring dengan gesekan politik yang amat memanas, sehingga upaya perjuangan Perubahan Rizal Ramli pun terputus di pemerintahan.

Namun meski sangat singkat, toh Rizal Ramli masih sempat berbuat banyak dari sebagai Kabulog, Menteri Koordinator Perekonomian, lalu Menteri Keuangan, dan terakhir Pemerintahan SBY sempat menggunakan jasa Rizal Ramli dalam menaikkan revenue BUMN Semen nasional sebagai Komisaris Utama PT. Semen Gresik (Sekarang PT. Semen Indonesia) pada 2006-2008.

Tetapi lantaran berbeda pandangan mengenai pencabutan subsidi BBM, Rizal Ramli pun berpisah dengan SBY hingga kini. Dan mulai sejak itu, Rizal Ramli dengan sangat jelas melihat ketidak-beresan pemerintahan SBY yang hanya dominan lebih ingin menguntung kelompoknya saja daripada kesejahteraan rakyat.

Sehingga itu, Rizal Ramli ikhlas dicopot dari jabatannya sebagai taruhan dalam memperjuangkan nasib rakyat Indonesia. Yakni dengan secara tegas ia menolak kebijakan kenaikan harga BBM dan menuntut harga-harga kebutuhan pangan rakyat segera diturunkan.

Kini ia masih menyimpan mimpi juga energi untuk terus melakukan PERUBAHAN, sehingga lucu saja rasanya jika sekarang sudah banyak figur dari parpol yang melontarkan slogan PERUBAHAN ini hanya untuk meraih kekuasaan secara instan. Bandingkan dengan seorang Rizal Ramli yang sudah selama hampir 40 tahun telah mengibarkan panji dan seruan PERUBAHAN.

Demikianlah Rizal Ramli yang sejak dulu hingga kini tetap saja konsisten pada perjuangannya dalam mewujudkan PERUBAHAN di negeri ini. Dan jika hari ini begitu banyak figur dengan hebatnya berlomba-lomba bersuara di mana-mana menyerukan sebuah Perubahan, maka perubahan yang dimaksud itu tak lain hanyalah upaya untuk merebut sebuah ambisi besar. Sebab, mereka menyuarakannya dengan memakai baju dan kostum partai politik di saat mendekati Pemilu 2014.

Dan ini sangatlah berbeda jauh dengan pergerakan perjuangan Perubahan yang dilakukan Rizal Ramli yang mampu diperlihatkannya meski tanpa memakai baju parpol tertentu. Sekali lagi Rizal Ramli secara konsisten tetap memperjuangkan dan menyerukan PERUBAHAN meski tanpa melalui partai politik pun.

Dan nilai perjuangan Perubahan yang dilakukan oleh Rizal Ramli inilah sesungguhnya yang lebih mampu mencerdaskan bangsa ketimbang seruan “Perubahan” yang disuarakan oleh para figur lainnya melalui corong partai politik.

Namun untuk selanjut, silakan rakyat sendiri yang merenungkannya: apakah benar-benar rakyat serius ingin melakukan PERUBAHAN…??? Jika ya, maka kualitas perjuangan perubahan Rizal Ramli tak bisa disepelekan sedikit pun…!!! Bangkit dan dukung perjuangan PERUBAHAN yang kini masih sedang dilakukan oleh Rizal Ramli, sekaligus ini sebagai upaya menghindari perpecahan karena politik di antara sesama anak bangsa..!!!

---------
SALAM PERUBAHAN...!!!

Minggu, 15 Desember 2013

Konsistensi, Kekuatan Sekaligus Kelemahan Rizal Ramli

[RR1online]:
SALAHKAH jika orang berambisi ingin berkuasa? Tentu saja tidak! Hasrat untuk berkuasa adalah salah satu fitrah yang dianugrahkan Allah SWT kepada manusia. Keinginan berkuasa tidak beda halnya dengan hasrat manusia atas makan, minum, sex, dan lainnya. Semuanya sah dan boleh-boleh saja.

Yang jadi persoalan, dari semua naluri tadi adalah bagaimana cara pememenuhannya. Adakah rambu-rambu yang ditabrak? Begitu juga dengan kekuasaan, bagaimana cara meraih kekuasaan yang diidamkan itu? Pertanyaan lain yang tidak kalah penting, untuk apa kekuasaan yang (kelak) berada dalam genggamannya itu digunakan? Jika syahwat kekuasaan dipenuhi dengan cara menghalalkan segala cara, maka tentu saja itu salah besar. Begitu juga bila kekuasaan yang dimiliki digunakan untuk memupuk kekayaan diri dan kelompok di satu sisi, lalu abai terhadap rakyat di sisi lain; itu salah sangat besar.

Pada titik ini, amat menarik mencermati perjalanan seorang Rizal Ramli. Lelaki yang dikenal gigih dan konsisten menyuarakan keharusan menerapkan ekonomi konstitusi ini bisa disebut punya pengalaman yang komplet. Dia pernah berada di dalam dan luar lingkaran kekuasaan.

Uniknya, di mana pun berada 
"di dalam atau luar pemerintahan-- dia tetap saja konsisten dengan garis hidupnya. Itu antara lain ditunjukkan dengan sikap kritisnya terhadap International Monetary Fund (IMF), World Bank (WB) dan berbagai lembaga internasional lain yang dikenal sebagai kampiun sekaligus penebar mazhab neolib.

Saat di luar sistem,  Rizal Ramli kerap bersuara lantang menentang sistem ekonomi neoliberal yang dijalankan pemerintah. Perlawanannya terhadap berbagai kebijakan publik yang memiskinan rakyat, sudah dilakukan sejak Pak Harto masih sangat berkuasa. Bahkan pada 1978, bersama teman-temannya di ITB dia menulis Buku Putih yang membuat Penguasa Orde Baru itu gusar. Hasilnya, Rizal muda harus mendekam di penjara Sukamiskin, tempat Seokarno pernah menjadi penghuninya.

Ketika Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menjadi Presiden, pendiri think tank ECONIT itu Ramli sempat masuk dalam pusat kekuasaan. Sejumlah jabatan penting dan strategis ada dalam genggamannya. Kepala Badan Urusan Logisitik (Bulog), Menteri Koordinator Perekonomian, dan akhirnya Menteri Keuangan pernah disandangnya. Sebelumnya, dia pernah menolak tawaran Gus Dur untuk menjadi Ketua Badan Pemerika Keuangan (BPK) dan Duta Besar Indoensia untuk Amerika Serikat. Kendati begitu, lagi-lagi dia tetap saja konsisten dan tidak berubah!

Ganti Aktor

Sejarah sepertinya senantiasa berulang. Ketika penguasa koruptif dan menzalimi rakyat, sekelompok orang memelopori gerakan untuk menumbangkan. Rezim pun berganti. Tapi, ketika mereka duduk di empuknya kursi Kekuasaan, para jagoan tadi mengulangi kesalahan serupa. Revolusi hanya melengserkan diktator lama dan melahirkan diktator baru. Anggur lama dalam botol baru!

Soeharto kembali mengulangi kesalahan Soekarno. Reformasi yang digulirkan 1998, ternyata hanya mengganti para aktor di panggung kekuasaan. Pemberantasan korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) yang menjadi agenda utama reformasi, kini justru tampil dengan lebih massif dan sistematis. Kesejahteraan rakyat kian jauh dari jangakauan, terbang entah ke mana.

Tabiat buruk sebagian besar aktivis itu sepertinya tidak berlaku pada Rizal Ramli. Siapa saja yang rajin menelusuri rekam jejaknya, akan sangat sulit --untuk tidak menyebut mustahil-- menemukan langkah miring tokoh yang diganjar gelar Capres paling ideal oleh The President Centre ini. Selama puluhan tahun, pria yang akrab disapa RR tersebut selalu setia di track yang sama. Menentang penindasan rakyat oleh siapa pun dan atas nama apa pun. Penasehat ekonomi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) ini terus saja menapaki jalan terjal penuh rintangan. Jalan yang membuat Indonesia maju dan rakyatnya sejahtera.

Tentu saja, konsisten adalah sesuatu yang amat berharga. Ia kini menjadi barang langka, di tengah perilaku tak elok yang secara berjamaah dipertontonkan para pejabat publik. Tapi buat Rizal Ramli, sikap konsisten yang menjadi kekuatannya itu, ternyata sekaligus menjadi titik lemah baginya. Paling tidak, begitulah pendapat Jeffrey Winters. Dia tidak bergeser dari prinsipnya untuk berkompromi, kendati hal itu dimaksudkan sekadar keperluan taktis.

Menurut Jeffery, kekuatan RR adalah konsistensi dan keberpihakannya pada rakyat dan kepentingan nasional. Dia juga konsisten melakukan perlawanan terhadap penguasa. Padahal, yang namanya iming-iming bukan tidak pernah disodorkan kepadanya. Pernah, begitu keluar dari penjara Sukamiskin pada 1979, Soeharto mengirim Sekjen Golkar Sarwono Kusumaatmaja untuk menawarkan posisi calon jadi DPR Golkar. Rizal Ramli dan tiga temannya menampik tawaran itu. Ehem… bandingkan bagaimana para aktivis yang pasca reformasi yang kini bertengger di kursi empuk kekuasaan legislatif dan eksekutif.

Harus Bermanfaat

Kembali soal ambisi terhadap jabatan dan kekuasaan, lagi-lagi Ketua Umum Aliansi Rakyat untuk Perubahan (ARUP) ini memang bisa disebut makhluk langka. Dulu, di awal kemenangan kaum reformis setelah menumbangkan Soeharto, dia menepis tawaran Amin Rais dan Arnold Baramuli untuk menjadi menteri BJ Habibie.  Dia juga menampik tawaran SBY untuk menjadi Menteri Perindustrian dan Ketua Dewan Pertimbangan Presiden.


Yang terbaru, Rizal Ramli menolak tawaran dari kepala staf Sekjen PBB untuk memimpin Economic & Social Commission of Asia and Pacific (ESCAP) alias Komisi Sosial Ekonomi Asia Pasifik.

Asal tahu saja, ESCAP bukanlah lembaga ecek-ecek. ESCAP adalah satu dari lima komisi kawasan yang dimiliki Dewan Ekonomi Sosial PBB atau ECOSOC. Didirikan pada 1947, ESCAP kini punya 53 anggota negara dan sembilan anggota asosiasi. Kantor pusat ESCAP di Bangkok, Thailand. Saat ini dipimpin oleh Sekretaris Eksekutif Noeleen Heyzer dari Singapura.

“Saya sangat berterima kasih dan merasa terhormat atas tawaran jabatan yang prestisius itu. Namun, saya menolak karena masalah dan tantangan di Indonesia jauh lebih besar. Diperlukan kesungguhan untuk membuat Indonesia menjadi negara hebat di Asia,” ujar Rizal Ramli yang juga Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.

Pelajaran apa yang bisa kita petik dari penolakan Rizal Ramli terhadap begitu banyak jabatan penting dan bergengsi? Dia tidak gila kekuasaan. Tidak banyak orang di dunia ini, khususnya di Indonesia, yang pernah menolak tawaran jabatan bergengsi. Yang terjadi justru sebaliknya, mereka berlomba-lomba merengkuh jabatan dengan menghalalkan segala cara.

Kendati demikian, bukan berarti RR selalu menampik jabatan yang disorongkan kepadanya. Kadang dia juga mau. Tapi  Rizal Ramli  hanya bersedia menerima jabatan publik jika posisi itu bisa membantunya mengubah Indonesia menjadi lebih baik. Sejarah mencatat dia menjadi Kepala Badan Urusan Logisitik (Bulog), Menteri Koordinator Perekonomian, dan akhirnya Menteri Keuangan. Capres paling reformis versi Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) itu pun pernah menjadi Preskom PT Semen Gresik. Benang merahnya, di mana pun berada dia selalu all out, berkerja keras dan cerdas dengan prestasi jauh di atas rata-rata.

Untuk sepak terjang dan rekam jejak Rizal Ramli, silakan baca Rizal Ramli, Lokomotif Perubahan; Langkah Strategis dan Kebijakan Terobosan. Juga bisa disimak pada judul Rizal Ramli, "Indonesia Makmur dan Digjaya di Asia". Kita juga bisa menyaksikannya melalui audio-visual: 




Inilah perbedaan utama Rizal Ramli dengan nama-nama yang bersliweran di media massa, cetak dan elektronik. Publik dengan mudah dapat menilai kualitas masing-masing individu. Tanpa bermaksud menghakimi yang lainnya, namun konsisten sepertinya sudah menjadi trade mark RR. Dia selalu meninggalkan jejak berupa keberpihakan kepada rakyat dengan jelas dan tegas.

Tapi mungkin layak disimak catatan Jeffrey buat pria yang di kalangan kaum Nahdiyin akrab disapa Gus Romli ini. Konsistensi adalah kekuatan sekaligus kelemahan Rizal Ramli. Hemmm…

---(Edy Mulyadi)
 Penulis adalah Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)

Sabtu, 07 Desember 2013

Termasuk SBY Harusnya Malu Kepada Mandela


[RR1online]:
NELSON Mandela, memang telah tiada. Namun sejarah peradaban telah mencatat dirinya sebagai sosok pejuang dan pemimpin besar, tidak hanya untuk negaranya Afrika Selatan, tetapi juga buat seluruh umat di dunia.

Jiwa keberanian dan perjuangannya telah terbukti begitu sangat mulia. Dan sungguh, Mandela benar-benar telah meninggalkan warisan yang sangat berharga buat kita semua dalam menegakkan perdamaian, rekonsiliasi, dan keadilan di muka bumi ini.

Meski berkat dari perjuangannya itu, Mandela dianugerahi Nobel Perdamaian tahun 1993, disusul setahun kemudian 1994 ia terpilih menjadi Presiden Afrika Selatan, yakni presiden kulit hitam pertama pasca rezim apartheid. Namun Mandela hanya ingin menjabat satu periode. Setelah lima tahun, ia pun menyatakan tak ingin lagi jadi presiden.

Padahal, jika saja Mandela haus kekuasaan dengan momen seperti itu, maka tentu mudah saja bagi Mandela untuk bisa terpilih kembali, atau bahkan menjadi Presiden Afrika Selatan seumur hidup sebagai penghargaan atas perjuangannya tersebut. Tetapi Nelson Mandela tidak memilih untuk mengikuti nafsu kekuasaan itu.

Bagaimana dengan para pemimpin di negara lain? atau bagaimana dengan figur-figur lainnya yang ngotot untuk maju menjadi presiden di sejumlah negara lainnya? Adakah yang meneladani karakter dan perjuangan Nelson Mandela tersebut?

Atau kita persempit saja pertanyaannya: Bagaimana dengan SBY? Adakah SBY sebelum menjadi presiden pernah berjuang seperti yang pernah dilakukan oleh Mandela hingga merasa patut untuk menjadi dan mempertahankan dirinya sebagai penguasa…? Atau bagaimana dengan figur-figur lainnya yang kini sudah pasang dada merasa lebih pantas memimpin negeri ini. Adakah mereka semuanya telah melakukan hal yang mirip dilakukan oleh Mandela???

Maaf… kalau ada yang tersinggung. Semua ini tercetus dalam pikiran saya adalah agar kita bisa menjadi negara dan bangsa yang betul-betul merdeka, maju dan berkembang, maka Mandela harus menjadi perbandingan. Olehnya itu, jika kita mau jujur menggali kata hati masing-masing, maka tentu kita akan menemui jawabannya, bahwa betapa seharusnya para elit di negeri ini merasa malu terhadap sosok Mandela. Bukankah Mandela kini sebagai ikon politik “pejuang rakyat” untuk skala dunia..???

Semoga menjelang Pilpres 2014 ini rakyat Indonesia bisa memilih pemimpin yang benar-benar bisa menyerupai, atau paling tidak mendekati dengan apa yang telah dilakukan oleh Nelson Mandela. Bukan sosok yang haus kekuasaan, apalagi berasal dari kalangan “perampok” uang negara. Dan marilah kita mencari Mandela-nya Indonesia…!!!

Salam Perubahan….!!!!
(map-ams)

Mendunia Ada Mandela, juga Soekarno. Untuk Sekarang di Indonesia Siapa..?


Kategori: Opini*
[RR1online]:
NELSON Mandela, mantan pemimpin kelompok perjuangan anti-apartheid di Afrika Selatan (Afsel), kini telah tiada. Mandela menghembuskan nafas terakhirnya Kamis malam, 5 Desember 2013, yakni setelah dirawat selama berbulan-bulan akibat infeksi paru-paru yang dideritanya.

Pada hari wafatnya, Presiden Afsel saat ini Jacob Zuma langsung mengumumkan kepergian Mandela. Ia mengatakan Mandela “pergi dengan damai. Bangsa kita kehilangan putra terbaiknya,” kata Zuma.

Hm, mari kita sedikit meluruskan pengumuman Zuma. Bahwa bukan hanya Afsel yang kini merasa kehilangan. Tetapi dunia juga dipastikan sangat kehilangan sosok pejuang terbesar yang mampu mengubah karakter sosial dunia ini.

Ya, Mandela adalah perjuang yang mewujudkan Afrika Selatan sebagai negara demokratis, yakni tidak dipisahkan oleh ras. Dan sungguh tak gampang perjuangan seperti itu ditempuh, sebab ia harus mengorbankan dirinya di penjara selama 27 tahun di bawah rezim apartheid di Afrika Selatan.

Tepat pada 11 Februari 1990 Mandela dibebaskan, dan sekitar  50.000 orang pendukungnya sudah menunggu di luar penjara. Pada waktu itu Mandela mengatakan “perjuangan kita telah mencapai saat yang menentukan.”

Berkat perjuangannya, Mandela dianugerahi Nobel Perdamaian tahun 1993. Tahun 1994, ia terpilih menjadi Presiden Afrika Selatan, yakni presiden kulit hitam pertama pasca rezim apartheid. Namun Mandela menjabat hanya satu periode. Setelah lima tahun, ia tak mau lagi jadi presiden.

Di balik perjuangan Mandela, tentu ada pengorbanan darah dan air mata yang tak tercatat. Pernahkah kita membayangkan bagaimana rasanya hidup terpenjara selama 27 tahun, terpisah dari keluarga, anak dan istri, karena perjuangan yang kita yakini? Bagaimana bisa seseorang tetap teguh berjuang, tidak goyah, atau bahkan kemudian tidak menanam dendam kepada orang-orang yang telah memenjarakannya selama 27 tahun?

Namun, sebagai “pemenang sejarah”, Mandela tentu punya kesempatan untuk membalas dendam kepada rezim yang membuat hidupnya, dan kaum sebangsanya menjadi sengsara. Tapi Mandela tidak memilih jalan itu. Ia memilih jalan rekonsiliasi. Yakni dengan penuh keyakinan, Afrika Selatan ia tancapkan secara teguh sebagai negara yang harus dibangun bersama, tidak cuma oleh kaum kulit hitam, tapi juga kulit putih. Itulah kemuliaan seorang Mandela.

Kemuliaan lainnya, Mandela tidak haus kekuasaan. Buktinya, ia hanya berkuasa sebagai presiden selama satu periode. Sebagai sebagai pemimpin besar dan perjuangan persamaan hak yang mampu tampil sebagai “pemenang sejarah”, Mandela tentu bisa saja membuat dirinya jadi presiden seumur hidup. Tetapi itu tidak dilakukan oleh Mandela.

Dan sungguh, kemuliaan Mandela ini tak mampu diikuti oleh figur-figur lain ketika terlanjur menjabat sebagai pemimpin negara maka akan sulit untuk ingin dilepaskannya. Bahkan jika perlu dipertahankan sekeras mungkin. Sehingga sekali lagi, Mandela sama sekali tidaklah demikian. Ia tak tergoda memiliki kekuasaan untuk waktu yang panjang, apalagi jika ingin mempertahankannya.

Karena bagi Mandela ketika menjadi Presiden, ekonomi Afsel mengalami kemajuan. Mandela yakin betul, perekonomian yang kuat berhubungan erat dengan perkembangan politik negara. Berakhirnya sistem apartheid berarti terbukanya kesempatan yang luas bagi warga kulit hitam untuk bekerja, baik sebagai buruh maupun sebagai seorang profesional untuk kemajuan bersama, yakni tentunya dengan tanpa membedakan hak dan kewajiban setiap orang.

Di Indonesia, sebetulnya kita punya banyak pejuang yang memiliki jiwa pemberani seperti Nelson Mandela. Misalnya di masa lalu, salah satunya ada Soekarno. Bahkan di mata Mandela, sosok Soekarno adalah tokoh yang  mampu membakar semangatnya memperjuangkan rakyat Afsel.

Mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli punya catatan tersendiri tentang Mandela dan Soekarno. Yakni, kedua pejuang ini sama-sama hebat, karena sama-sama pemberani dalam memperjuangkan sebuah kemerdekaan atas segala bentuk penjajahan dan penindasan.

Dikatakannya, berkali-kali diancam akan dibunuh oleh lawan politiknya, Mandela tak kendur berjuang, begitupun dengan Soekarno. Sebab, keberanian Mandela menegakkan kebenaran ini juga yang diajarkan oleh Presiden Soekarno buat bangsa ini dan dunia internasional. Ia tahu akan dibunuh, seperti halnya Mandela, Bung Karno tidak mengeluh dan tak gentar. “Jiwa pejuang dan pemberani dari kedua tokoh inilah yang patut kita teladani,” lontar Rizal Ramli.

Setelah Soekarno, siapa lagi sosok yang memiliki jiwa perjuangan dan pemberani yang dimiliki Indonesia di zaman sekarang..??

Sebetulnya masih ada. Tapi dalam suasana politik seperti ini, maka sejumlah pihak tentu hanya akan memandang sinis beberapa sosok pejuang dan pemberani yang masih kita punyai itu. Dan inilah kelemahan kita di Indonesia yang kerap merasa masing-masing lebih “jago” dan merasa lebih “mulia” dalam bertindak.

Tetapi jika kita mau jujur, sesungguhnya, Indonesia memang masih memiliki sejumlah sosok pemberani yang juga masih senantiasa tetap berjuang untuk negeri ini. Salah satunya yang sangat menonjol adalah Rizal Ramli.

Maaf… ini bukan bermaksud mengultuskan seseorang, tetapi ini adalah sebuah pembenaran sejarah. Bahwa, eksistensi perjuangan Rizal Ramli memang sejak dulu juga telah ia mulai dengan sepenuh jiwa memperjuangkan hak-hak rakyat, hingga pula harus mendekam dalam penjara. Sama persis yang dialami oleh Nelson Mandela. Hanya saja memang skala kondisi dan waktunya berbeda dengan yang dialami dan yang dirasakan oleh Rizal Ramli.

Tapi mari kita menengok secuil sejarah Mandela.  Bahwa Mandela sempat kuliah di Universitas Witwatersrand jurusan hukum tahun 1943. Meski dia keluar dari kampus itu tahun 1948 karena kekurangan biaya, juga paling tidak karena telah banyak aktif sebagai seorang aktivis menentang pemerintahan (persis yang dihadapi oleh Rizal Ramli).

Dan di kampus dengan beragam etnis itu, Mandela melihat situasi Afrika yang radikal, liberal, rasis dan diskriminatif. Dari sinilah sikap anti apartheid-nya muncul.

Setelah serangkaian demonstrasi dan aksi, dia pun divonis seumur hidup pada Pengadilan Rivonis tahun 1962 karena Mandela dinilai telah melakukan percobaan menggulingkan pemerintahan. (Sekali lagi ini persis dengan sejarah yang pernah dilalui oleh Rizal Ramli)

Saya tidak bermaksud pula untuk menyejajarkan Rizal Ramli dengan Mandela atau Soekano. Tetapi saya yakin, Mandela dan Soekarno tentu sangat bangga jika mengetahui bahwa masih ada sosok pemberani yang setiap saat senantiasa berjuang tanpa putus untuk kepentingan orang banyak.

“Selamat jalan Mandela. Kami akan selalu melanjutkan perjuanganmu demi mengangkat harkat dan martabat manusia di muka bumi ini,” lontar Rizal Ramli.

Menurut Rizal Ramli, kebesaran dan kehebatan Mandela sebagai pemimpin dunia yang amanah, antikekerasan, humanis dan adil bijaksana tak cukup hanya dikenang masyarakat internasional, tapi harus menjadi teladan.

“Mati dan hidup ada di tangan Tuhan. Kalau saya harus mati ditembak, ya saya akan mati tertembak. Tapi kalau takdir saya tidak mati tertembak, biarpun ditembak berkali-kali, Insya Allah saya tidak akan mati,” ujar Rizal Ramli yang kini ikut didorong oleh akademisi dan aktivis pergerakan untuk maju sebagai calon presiden, mengutip pernyataan Soekarno.
-----------
*Penulis Artikel: Abdul Muis Syam

Sabtu, 30 November 2013

Ini Bukti Rizal Ramli Lebih Cinta Rakyat Daripada Dirinya


Kategori: Opini*
[RR1
online]:
ADA
beberapa hal penting yang patut ditunjuk pada diri Rizal Ramli sebagai bukti kecintaannya kepada Rakyat Indonesia sejak dulu, sekaligus dapat menjadi pembenaran bahwa Rizal Ramli selama ini sesungguhnya memang bukanlah sosok yang haus jabatan atau kedudukan.

Bukti pertama. Adalah, ketika masih aktif sebagai mahasiswa di ITB, Rizal Ramli telah mampu memperlihatkan cintanya kepada Rakyat Indonesia. Yaitu dengan gigih berjuang membela hak-hak rakyat melalui berbagai aksi pergerakan dalam melawan dan menentang pemerintahan Orde Baru (Orba).

Ketika itu Rizal Ramli pun harus diciduk, lalu dipaksa mendekam di penjara. Dan kala itu, Pemerintah Orba boleh saja menudingnya sebagai aktivis yang sangat berbahaya, tetapi Rizal Ramli di hati rakyat adalah sosok pejuang pembela hak-hak rakyat, punya jiwa pengabdian dan kecintaan yang sangat tinggi kepada negeri ini.

Sungguh, itulah awal pengabdian dan kecintaan Rizal Ramli terhadap rakyat. Sebab, jika mau dipikir-pikir, apa yang dicari oleh seorang mahasiswa seperti Rizal Ramli yang kala itu sampai-sampai berani menerima risiko (dipenjara) atas perlawanannya kepada Pemerintahan Orba? Apakah jabatan..? atau apa..??

Bukti kedua. Rizal Ramli kembali melakukan pergerakan perlawanan melalui aksi unjuk rasa di depan istana (tahun 2008), yakni menentang dan menolak kebijakan SBY yang menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) serta menuntut agar harga-harga sembako segera diturunkan. Mengapa Rizal Ramli begitu berani, padahal ia tak punya partai..??

Terlebih ketika itu, Rizal Ramli sedang menjabat posisi yang sangat strategis di salah satu BUMN, yaitu sebagai Komisari Utama PT. Semen Gresik (sekarang PT Semen Indonesia). Dan sepanjang sejarah manajemen di PT. Semen Gresik, Rizal Ramli adalah Komisaris Utama yang mampu mengukir prestasi dan kinerja tertinggi dibanding para pendahulunya.

Mana ada orang berani menentang kebijakan penguasa di saat sedang menduduki suatu jabatan..?? Sungguh, tak ada yang berani selain Rizal Ramli! Sebab, konsekuensinya adalah sebuah risiko, yakni dipecat. Dan risiko itulah yang benar-benar harus diterima oleh Rizal Ramli kala itu.

Sejauh ini di mata pemerintahan yang korup, memanglah selalu saja memandang Rizal Ramli sebagai sosok yang sangat berbahaya. Sehingga kebaikan apapun yang dilakukan Rizal Ramli untuk rakyat, tentunya selalu dianggap salah di mata penguasa yang korup tersebut.

Namun meski begitu, bagi Rizal Ramli, penjara dan pemecatan dirinya dari sebuah jabatan bukanlah masalah besar, apalagi sampai jadi penghalang dan menghentikan langkah perjuangannya. Sama sekali tidak! Bahkan, Rizal Ramli terlihat makin teguh dan bersemangat, serta tetap konsisten untuk selalu berada di pihak rakyat.

Bukti ketiga yang menunjukkan bahwa Rizal Ramli benar-benar cinta kepada Rakyat, sekaligus sebagai bukti dirinya bukanlah sosok yang haus jabatan dan kedudukan. Yaitu, baru-baru ini dirinya mendapat tawaran mulia, namun Rizal Ramli menolaknya dengan halus karena lebih memilih untuk dapat bertindak mulia di negeri sendiri.

Tawaran mulia tersebut berasal dari Kepala Staf Sekretaris Jenderal PBB via telepon, Kamis malam (28/11/2013), untuk menduduki jabatan sebagai Sekretaris Eksekutif ESCAP (Economic & Social Commission of Asia and Pacific).

ESCAP adalah satu dari lima komisi kawasan yang dimiliki Dewan Ekonomi Sosial PBB atau ECOSOC. Didirikan pada tahun 1947, ESCAP kini memiliki 53 anggota negara dan sembilan anggota asosiasi. Kantor pusat ESCAP berada di Bangkok-Thailand, dan saat ini dipimpin oleh Sekretaris Eksekutif Noeleen Heyzer dari Singapura.

Dalam penolakannya Rizal Ramli mengatakan, dirinya saat ini sedang fokus membenahi sejumlah persoalan yang tengah dihadapi oleh bangsa dan negara Indonesia. “Saya sangat berterima kasih dan merasa terhormat atas tawaran jabatan yang prestisius itu. Namun, saya menolak karena masalah dan tantangan di Indonesia jauh lebih besar. Diperlukan kesungguhan untuk membuat Indonesia menjadi negara hebat di Asia,” terang Rizal Ramli, yang  kini baru saja dipercaya sebagai Ketua Umum Kadin. Dikutip rmol.

Apalagi selama ini, Rizal Ramli juga masih sementara aktif sebagai anggota Panel Ahli PBB bersama tiga penerima hadiah Nobel dan lima ekonom terkemuka di dunia. Bahkan belum lama ini ia baru kembali menghadiri pertemuan Panel Ahli PBB di New York, dan juga baru saja usai memberikan kualiah umum pada simposium internasional yang digelar Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Dunia di Universitas Thammasat, Bangkok-Thailand.

Dan bukti keempat yang tak terbantahkan. Yakni, meski tak punya kedua orangtua lagi di saat masih berusia 6 tahun, Rizal Ramli nyatanya lebih memilih memperjuangkan hak-hak rakyat di banding kepentingannya sendiri. Dan sekali lagi, perjuangan itu sudah dimulai sejak mahasiswa dulu dan hingga kini.

Artinya, sangat sulit bagi orang seperti Rizal Ramli yang sejak bocah telah berstatus yatim-piatu untuk tidak memperhatikan dirinya terlebih dahulu. Kalau anak zaman sekarang bilang begini: “Ngapain capek-capek ngurus dan bela-belain orang lain….”.

Tetapi sungguh, Rizal Ramli tidaklah demikian. Ia nampaknya telah berhasil ditempa oleh “alam” sejak dulu dengan beraneka-ragam kepahitan hidup yang harus dialaminya. Hingga kemudian jiwanya benar-benar berhasil terbentuk sebagai seorang pemimpin yang lebih mengutamakan kepentingan orang banyak daripada kepentingannya sendiri. Bukankah memang begitu sikap dan sifat mulia dari seorang yang benar-benar layak disebut pemimpin…???

Tanpa bermaksud mengerdilkan figur lain yang telah mengukuhkan diri sebagai orang yang paling tepat menjadi capres. Bahwa kita saat ini harusnya bisa secara sadar membedakan, mana sosok yang secara instan ingin menjadi pemimpin, dan mana sosok yang memang lahir sebagai pemimpin secara alami.

Maaf, saya belum bisa menunjuk seseorang telah layak dipercaya sebagai pemimpin rakyat di saat kemunculannya secara instan dimulai dari partai politik. Artinya, sebelum memasuki parpol, yang bersangkutan bukanlah siapa-siapa. Dan ini sangat berbeda dengan kemunculan Rizal Ramli yang sudah menjadi “apa-apa” meski tidak dilalui dalam sebuah parpol. Apalagi saat ini banyak figur yang muncul dari parpol satu ke parpol lainnya. Artinya, ketika ia merasa tak “puas” di parpol satu, ia lalu melompat ke parpol lainnya hanya demi mewujudkan “ambisinya” secara instan.

Sosok yang muncul secara instan, dan pemimpin yang digembleng dengan cara-cara rekayasa dalam parpol, tentunya hanya akan memunculkan jiwa kepemimpinan yang cenderung berpihak kepada kepentingan diri sendiri dan untuk keuntungan partai politiknya saja, bukan diluapkan untuk kepentingan rakyat sebagaimana yang sampai saat ini konsisten diperlihatkan Rizal Ramli. Itu pula kiranya alasan mengapa Rizal Ramli hingga saat ini tidak memasuki parpol tertentu.

Semoga saja ada parpol (bukan parpol korup) secara jeli mampu melihat sosok yang benar-benar selama ini mencintai rakyat daripada dirinya.

Salam Perubahan…!!!
-----------
*Sumber: Kompasiana

Kamis, 28 November 2013

Teriris Hatiku Mengetahui Kasus Bank Century

Kategori: Opini*
[RR1online]:
MENGIKUTI perkembangan kasus Bank Century, rasanya hanya membuat hati rakyat kecil jadi sakit dan terkoyak perih, termasuk saya sebagai warga negara.

Bagaimana tidak. Dari kasus Bank Century itu dapat disimpulkan salah satunya adalah, bahwa BETAPA GAMPANGNYA PEMERINTAH MENGUCURKAN DANA talangan (bail-out) kepada bank “kecil” seperti Bank Century. Nilainya pun sangat fantastis dan tak tanggung-tanggung, yakni Rp.6,7 Triliun.

Alasan pemerintah bersama Bank Indonesia beserta unsur terkait lainnya menggelontorkan dana sebesar itu adalah demi sebuah “penyelamatan”, yakni agar tidak terjadi krisis ekonomi yang hebat secara nasional. Masuk akal tidak alasan ini jika diketahui bank tersebut hanyalah bagai ombak kecil di tengah lautan luas..???

Apalagi ketika itu pihak pemilik bank Century sebetulnya hanya membutuhkan dana talangan (yang lebih pas disebut plafon) Rp. 1 Triliun, tetapi kok bisa digelembungkan hingga mencapai Rp. 6,7 Triliun sebagai bail-out? Ibarat hanya butuh sepeda tapi diberi mobil. Ada apa ini? Sungguh sebuah misteri yang sangat luar biasa, dan siapa pun itu yang terlibat di dalamnya tentunya wajib untuk segera diungkap!!!

Namun terlepas apakah pihak pemilik Bank Century kemudian benar-benar menerima dana yang telah dikucurkan oleh “pemerintah” itu atau tidak, dalam hal ini tentunya tak ada hubungannya dengan saya. Artinya, itu bukanlah urusan saya.

Tetapi ketika saya mengetahui bahwa betapa GAMPANGNYA “pemerintah” (Bank Indonesia beserta unsur terkait lainnya) mencairkan duit hingga triliunan rupiah kepada bank kecil seperti Century tersebut, maka inilah yang kemudian “berdampak sistematis dam sistemik” terhadap sekujur tubuh saya. Hahahaaa…Mengapa???

Sebab, darah saya terasa mendidih dan hati saya terasa teriris ketika  mengetahui betapa gampangnya “pemerintah” menyalurkan dana sebesar itu kepada bank kecil (Century) yang telah diketahui sejak dulu memang sudah “sakit-sakitan”, tetapi toh tetap dipaksakan oleh “pemerintah”.

Sungguh, saya merasa sakit hati! Sebab di sisi lain, saya beberapa kali telah pernah mengajukan permohonan bantuan modal usaha kepada sejumlah bank, tetapi semuanya ditolak. Padahal, jika permohonan saya dikabulkan, maka usaha ini bisa memberi lapangan kerja buat sedikitnya 150 orang.

Saya memang sangat memaklumi kekurangan saya yang tak punya nilai agunan cukup sebagai dasar utama penolakan tersebut. Sehingga itu saya tak ingin menabrak aturan yang sudah disyaratkan oleh semua bank tersebut.

Tetapi terus terang, hati saya terasa sangat memberontak, seakan tak menerima  ketentuan tentang agunan tersebut. “Bank Century bisa dengan amat… sangat.. sangat mudahnya disuntik uang Triliunan Rupiah, ekornya saja Rp.700 miliar (dari Rp.6,7 Triliun tersebut) sudah sangat besar, tapi kok saya tak bisa??? Padahal saya cuma butuh 4 sampai 6 miliar??” begitu celoteh saya ketika itu, dan kalimat inilah yang terus menari-nari di benak saya hingga saat ini.

Suatu ketika saya pernah bincang-bincang dengan seorang teman yang sudah sukses menjalankan usaha kulinernya. Dalam perbincangan tersebut terungkap beberapa hal menarik.

Pertama, teman saya itu ternyata menceritakan bahwa dirinya adalah seorang “buronan” bank yang sudah lari ke sana-ke mari karena dililit utang bank atas usahanya yang macet di tempat sebelumnya.

Merasa lelah dikejar-kejar, ia pun mendapat ide untuk kembali meminta modal di bank tetapi dengan identitas (namanya) yang sudah berubah dan bermukim di daerah lain, tentunya dengan KTP yang sudah berubah pula. Ini yang kedua.

Ketiga. Untuk mewujudkan idenya itu, ia hanya butuh modal kecil untuk menyewa/kontrak rumah setahun sebagai tempat usahanya (sebagai pancingan) dan juga modal alakadarnya untuk pengadaan bahan baku jualan kulinernya.

Hal menarik yang keempat, saat usahanya itu telah berjalan, ia kemudian mencari rumah yang ingin dijual oleh pemiliknya. Ia berani melakukan tawar-menawar harga meski uang belum ada di tangannya. Setelah sepakat, ia pun meminta foto-copy akte kepemilikan tanah/rumah tersebut. Foto-copy akte inilah yang dijadikan sebagai bahan ajuan permohonan modal ke bank.

“Berapa Bapak nilai rumah ini ketika saya jadikan agunan untuk mendapatkan modal usaha?” begitu bekal pertanyaannya (teman saya tersebut) kepada pihak bank.

Alhasil, ada bank yang siap memberikannya jumlah dua kali lipat dari harga jual rumah yang telah disepakati (dalam tawar-menawar) dengan pemiliknya itu. Padahal sebelumnya, ia bukanlah nasabah (tabungan) di bank bersangkutan.

Dari dana yang telah cair dari bank, ia pun bisa membayar harga rumah tersebut, dan selebihnya ia pakai untuk modal usaha.

Dari hal-hal menarik dalam perbicangan tersebut, saya kemudian tertarik untuk mengikuti langkah tersebut. Tetapi karena saya bukan seorang “buronan” jadi saya tak perlu mengubah identitas saya hehehee…!?!

Pada Maret 2013, saya pun mengajukan permohonan permintaan modal usaha kembali ke sejumlah bank dengan menggunakan jurus seperti yang dilakukan oleh teman saya itu. Yakni, saya berhasil meminjam foto-copy sebuah akte tanah/rumah yang oleh pemiliknya memang ingin dijual seharga Rp.3 Miliar.

Bank yang menjadi harapan saya adalah Bank Muamalat, sebab saya merasa yakin bank inilah yang mungkin bisa lebih mulia, dan juga menilai bahwa mungkin bank inilah yang lebih mampu menentukan orientasi terhadap keunggulan tersembunyi yang dimiliki oleh pemohon modal.

Dengan berharap bisa mendapat penilaian di atas dari harga rumah tersebut, Bank Muamalat pun melakukan survei ke lokasi. Alhasil, mereka hanya bisa menilai tanah dan rumah tersebut sebesar Rp.3,8 Miliar. Dan saat itu saya nyatakan setuju dan minta untuk segera diproses lebih lanjut.

Tetapi, esoknya terjadi pergantian pimpinan cabang Bank Muamalat di daerah saya, Gorontalo. Dan saya merasa perlu untuk melakukan silaturahmi kepada pimpinan baru tersebut pada keesokan harinya. Tetapi, sungguh di luar dugaan, pimpinan yang baru itu menolak proses permohonan saya, dan dengan angkuhnya mengatakan: “…maaf, kalau Bapak bukan nasabah (tabungan) kami, maka saya pastikan proses ini tidak akan bisa direalisasikan…”.

Mendengar itu, saya tak mau berdebat, saya lebih memilih untuk mengalah dan bergegas untuk mengembalikan urusan ini kepada Yang Maha Pemberi Kesuksesan. Seperti biasa, saya hanya berceloteh dan menyayangkan proses awal sebelum survei lokasi, yakni mengapa pihak Bank Muamalat tak mengatakan memang sejak awal jika ada syarat yang mengharuskan pemohon adalah hanya berasal dari nasabahnya.

Secara lembaga memang saya tidak tercatat sebagai nasabah (tabungan) Bank Muamalat. Tetapi secara moral saya adalah “nasabah” atau bagian dari simbol kental yang menjadi nuansa di Bank Muamalat tersebut, yakni nuansa Islam.

Tetapi tak mengapalah, itu hak mereka. Sehingga penolakan-penolakan dari bank tak jadi soal buat saya. Lagian saya selalu berprasangka baik dan positif kepada Tuhan, dengan merasa yakin bahwa di balik semua itu tentu ada rencana Tuhan yang lebih baik untukku.

Oh..iya, usaha yang kugeluti itu adalah penerbitan media cetak bulanan. Dan sekadar diketahui, embrio usaha ini lahir sejak awal dari perjalanan hidupku sebagai seorang freelance (tahun 1992-1994), lalu bergabung sebagai seorang jurnalis di Harian FAJAR Makassar (Jawa Pos Grup tahun 1994-2000). Tahun 2000 saya mengundurkan diri dari harian terkemuka di Makassar itu karena tuntutan hati untuk bisa segera mandiri.

Upaya mandiri itu sebetulnya sudah saya lakukan di tahun 1998 sebagai awal perjuangan memasuki dunia usaha Penerbitan Media Cetak milik sendiri. Entah mengapa keinginan saya begitu sangat besar untuk menjadi seorang pengusaha penerbitan media cetak. Padahal dari segi ukuran kemampuan modal secara finansial saya nol besar. Berharap dari orangtua tidak mungkin, karena saya tahu, ayah saya hanya seorang pensiunan PNS golongan rendahan, ibu saya juga hanya seorang penyemangat dalam rumah tangga untuk ayah dan anak-anaknya.

Tetapi saya tetap saja berapi-api untuk ingin melalui hidup sebagai seorang pengusaha penerbitan media cetak. Sehingga kemudian harapan itu benar-benar kuperjuangkan dan kulakukan di tahun 1998.

Dan sejak tahun itu (hingga saat ini), saya tak pernah mendapat sokongan modal usaha sepeser pun dari bank atau dari lembaga-lembaga keuangan lainnya, apalagi dari pemerintah. Sehingga inilah alasan, mengapa hati saya merasa sangat teriris ketika  mengetahui “pemerintah” dengan sangat… sangat MUDAHNYA menggelontorkan dana triliunan rupiah kepada “bank kecil” seperti Bank Century, mengapa bukan pengusaha “kecil” seperti saya ini dan kepada mereka (rakyat kecil) yang juga punya potensi besar untuk menjadi sukses. Ini pula sekaligus yang menjawab tentang mengapa saya sangat “membenci” pemerintah saat ini.

Tetapi kebencian saya ini bukanlah sebuah dendam. Karena hati saya selalu mulia dan tulus demi menghidupi keluargaku melalui jerih-payah dan dari tetesan keringatku sendiri meski tanpa bantuan modal dari bank.

Satu-satunya fasilitas sebagai penopang operasional “start” awal menjalankan usaha saya adalah hanyalah satu unit komputer bekas, atau setara Rp. 750 ribu. Tetapi dari komputer “jadul” itulah saya bisa berkreasi dan menata helai demi helai lembaran media cetak dengan harapan kelak saya bisa mendapatkan modal usaha yang besar untuk meraih sukses besar pula.

Salah satu dasar pemikiran yang menjadi motivasi saya untuk mendapatkan modal usaha dari bank adalah, bahwa tanpa bantuan modal dari bank saja, toh..selama ini saya masih mampu menjalankan usaha penerbitan ini, apalagi seandainya diberi bantuan, maka tentu akan lebih dahsyat lagi.

Buktinya, dari satu unit komputer bekas itu (Alhamdulillah) saya mampu menafkahi seorang istri dan 3 orang anak saya, membeli mereka sebuah rumah, mampu gonta-ganti (memiliki) kendaraan, mulai motor hingga mobil. Dan sempat memperkerjakan 20 orang, masing-masing 15 orang sebagai wartawan dan 5 orang staf. Meski saat ini wartawan yang masih bertahan hanya tersisa 5 orang, dan staf tak ada lagi. Tapi jika diakumulasikan dari tahun 1998 hingga sekarang, saya sudah memperkerjakan orang sekitar 350 orang.

Kembali pada urusan proses di Bank Muamalat. Mengapa saya setuju dengan harga (Rp.3,8 M) yang sudah dimunculkan oleh pihak Bank Muamalat ketika itu. Sebab, Rp.3 M bisa saya kondisikan sebagai harga rumah tersebut yang di atas bidang tanahnya juga terdapat usaha kos-kosan yang sedang  berjalan (terisi full) sebanyak 30 kamar (Rp.500 ribu-Rp.750 ribu perkamar/bulan). Artinya, dengan usaha kos-kosan itu beban saya sudah tidak terlalu berat pada bank.

Selanjutnya, sekitar Rp.800 juta bisa saya arahkan untuk pengadaan mesin cetak standar, penambahan beberapa unit komputer, dan fasilitas penunjang operasional lainnya seperti kertas, tinta dan lain sebagainya. Semuanya akan saya gunakan untuk memunculkan sebuah media cetak harian.

Sebab, di Gorontalo hanya terdapat dua media cetak harian, itu pun kedua-duanya masih “satu atap”, yakni di bawah manajemen “Jawa Pos Grup”. Artinya, persaingan usaha bisnis media cetak di Gorontalo saat ini ibarat di atas sebuah ring tinju yang petinjunya adalah dua orang bersaudara yang saling menyayangi. Apa hebatnya..??? Dan untuk urusan kontrol sosial dari Pers terhadap Pemda-pemda, kepada bank-bank, dan aparat-aparat hukum nakal lainnya, silakan pembaca sendiri yang terjemahkan, apakah bisa berjalan dengan baik atau tidak…???

Berikut perjalanan usaha kemandirianku (tanpa bantuan modal dari bank) dalam menjalankan “JASA” Penerbitan Media Cetak (termasuk penerbitan buku-buku):
1.    Surat Kabar Umum “PAKARena” Makassar (1998-1999) — Status: independen;
2.    Tabloid “PARIWARA” Makassar (1999-2000) — Status: kerjasama dengan salah satu sekolah tinggi di Makassar; — tahun 2001 hijrah ke Gorontalo. Sehingga:
3.    Tabloid “PARIWARA” Gorontalo (2001-2003) — Status: independen;
4.    Buku “Menabur Anggaran, Menuai Kinerja”  (2003) — Status: Penulis, kerjasama Biro Keuangan Pemprov Gorontalo;
5.    Buku “Katalog Penduduk Miskin Prov. Gorontalo (Hasil Investigasi 2004) — Status: Penulis, kerjasama Pemrov. Gorontalo;
6.    Majalah “BENTOR” (2003-hingga sekarang, periodik dwi-bulan) — Status: Independen;
7.    Buletin “Modilito” (2005) — Status: Kerjasama Pemkab. Gorontalo (sekali terbit);
8.    Buletin “Caleg Kita” (2009) — Status: Kerjasama dua orang caleg DPRD Prov. Gorontalo dari dua partai berbeda;
9.    Majalah “Lampu Kuning” (2009-sekali terbit) — Status: Independen;
10.    Majalah “Fitrah Mandiri” (2009-2010) — Status: Kerjasama BUMD (PT. Gorontalo Fitrah Mandiri);
11.    Majalah “Berguru” (2010-sekali terbit) — Status: Kerjasama Pribadi Rusli Habibie (saat itu menjabat Bupati Gorontalo Utara);
12.    Majalah “Seputar Pohuwato” (2010) — Status: Kerjasama DPRD Kab. Pohuwato;
13.    Majalah “Gerbang Emas” (2010-2011) — Status: Kerjasama Pemkab. Gorontalo Utara;
14.    Buku “Berkarya Nyata, bukan Berkarya Kata” — Status: Kerjasama Pemkab. Gorontalo Utara;
15.    Majalah “Matahati dan MADU” — Status: Kerjasama pasangan nomor urut 2 Calon Walikota 2013-2018;
16.    Majalah “Harapan Rakyat” — Status: Kerjasama pasangan nomor urut 1 Calon Walikota 2013-2018.

Sekali lagi, jika saja tak ada kasus Century yang dengan mudah dan gampangnya pemerintah mencairkan uang negara, dan jika saja tak ada pengalaman dari seorang teman saya yang pernah jadi “buronan” itu lalu tiba-tiba bisa sukses karena kembali berhasil “memperdaya” bank tersebut, maka pastilah hati saya tidak terlalu perih ketika harus mendapat penolakan dari bank.

Demikianlah artikel ini saya tulis, yang sekaligus sebagai sebuah “warisan” buat anak-anak dan cucu-cucu saya kelak. Yaitu sebagai bukti, bahwa ayah dan kakek mereka pernah hidup di zaman edan. Lalu mereka pun tentu akan berkata: di zaman edan itu ada bank yang hanya butuh satu motor namun pemerintah memberinya sejuta mobil. Lalu giliran ayah dan kakek saya cuma butuh angin untuk sepedanya yang kempis malah tak digubris. Sungguh menyakitkan…!!??!!

“Tapi hebat mana, apakah para bank dan pengusaha yang bisa sukses karena dapat bantuan modal miliaran hingga triliunan itu, atau ayah/kakek saya…???” ujar anak-anak dan cucu saya kelak.

Salam Perubahan…
------------
*Sumber: Kompasiana