Sabtu, 30 November 2013

Ini Bukti Rizal Ramli Lebih Cinta Rakyat Daripada Dirinya


Kategori: Opini*
[RR1
online]:
ADA
beberapa hal penting yang patut ditunjuk pada diri Rizal Ramli sebagai bukti kecintaannya kepada Rakyat Indonesia sejak dulu, sekaligus dapat menjadi pembenaran bahwa Rizal Ramli selama ini sesungguhnya memang bukanlah sosok yang haus jabatan atau kedudukan.

Bukti pertama. Adalah, ketika masih aktif sebagai mahasiswa di ITB, Rizal Ramli telah mampu memperlihatkan cintanya kepada Rakyat Indonesia. Yaitu dengan gigih berjuang membela hak-hak rakyat melalui berbagai aksi pergerakan dalam melawan dan menentang pemerintahan Orde Baru (Orba).

Ketika itu Rizal Ramli pun harus diciduk, lalu dipaksa mendekam di penjara. Dan kala itu, Pemerintah Orba boleh saja menudingnya sebagai aktivis yang sangat berbahaya, tetapi Rizal Ramli di hati rakyat adalah sosok pejuang pembela hak-hak rakyat, punya jiwa pengabdian dan kecintaan yang sangat tinggi kepada negeri ini.

Sungguh, itulah awal pengabdian dan kecintaan Rizal Ramli terhadap rakyat. Sebab, jika mau dipikir-pikir, apa yang dicari oleh seorang mahasiswa seperti Rizal Ramli yang kala itu sampai-sampai berani menerima risiko (dipenjara) atas perlawanannya kepada Pemerintahan Orba? Apakah jabatan..? atau apa..??

Bukti kedua. Rizal Ramli kembali melakukan pergerakan perlawanan melalui aksi unjuk rasa di depan istana (tahun 2008), yakni menentang dan menolak kebijakan SBY yang menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) serta menuntut agar harga-harga sembako segera diturunkan. Mengapa Rizal Ramli begitu berani, padahal ia tak punya partai..??

Terlebih ketika itu, Rizal Ramli sedang menjabat posisi yang sangat strategis di salah satu BUMN, yaitu sebagai Komisari Utama PT. Semen Gresik (sekarang PT Semen Indonesia). Dan sepanjang sejarah manajemen di PT. Semen Gresik, Rizal Ramli adalah Komisaris Utama yang mampu mengukir prestasi dan kinerja tertinggi dibanding para pendahulunya.

Mana ada orang berani menentang kebijakan penguasa di saat sedang menduduki suatu jabatan..?? Sungguh, tak ada yang berani selain Rizal Ramli! Sebab, konsekuensinya adalah sebuah risiko, yakni dipecat. Dan risiko itulah yang benar-benar harus diterima oleh Rizal Ramli kala itu.

Sejauh ini di mata pemerintahan yang korup, memanglah selalu saja memandang Rizal Ramli sebagai sosok yang sangat berbahaya. Sehingga kebaikan apapun yang dilakukan Rizal Ramli untuk rakyat, tentunya selalu dianggap salah di mata penguasa yang korup tersebut.

Namun meski begitu, bagi Rizal Ramli, penjara dan pemecatan dirinya dari sebuah jabatan bukanlah masalah besar, apalagi sampai jadi penghalang dan menghentikan langkah perjuangannya. Sama sekali tidak! Bahkan, Rizal Ramli terlihat makin teguh dan bersemangat, serta tetap konsisten untuk selalu berada di pihak rakyat.

Bukti ketiga yang menunjukkan bahwa Rizal Ramli benar-benar cinta kepada Rakyat, sekaligus sebagai bukti dirinya bukanlah sosok yang haus jabatan dan kedudukan. Yaitu, baru-baru ini dirinya mendapat tawaran mulia, namun Rizal Ramli menolaknya dengan halus karena lebih memilih untuk dapat bertindak mulia di negeri sendiri.

Tawaran mulia tersebut berasal dari Kepala Staf Sekretaris Jenderal PBB via telepon, Kamis malam (28/11/2013), untuk menduduki jabatan sebagai Sekretaris Eksekutif ESCAP (Economic & Social Commission of Asia and Pacific).

ESCAP adalah satu dari lima komisi kawasan yang dimiliki Dewan Ekonomi Sosial PBB atau ECOSOC. Didirikan pada tahun 1947, ESCAP kini memiliki 53 anggota negara dan sembilan anggota asosiasi. Kantor pusat ESCAP berada di Bangkok-Thailand, dan saat ini dipimpin oleh Sekretaris Eksekutif Noeleen Heyzer dari Singapura.

Dalam penolakannya Rizal Ramli mengatakan, dirinya saat ini sedang fokus membenahi sejumlah persoalan yang tengah dihadapi oleh bangsa dan negara Indonesia. “Saya sangat berterima kasih dan merasa terhormat atas tawaran jabatan yang prestisius itu. Namun, saya menolak karena masalah dan tantangan di Indonesia jauh lebih besar. Diperlukan kesungguhan untuk membuat Indonesia menjadi negara hebat di Asia,” terang Rizal Ramli, yang  kini baru saja dipercaya sebagai Ketua Umum Kadin. Dikutip rmol.

Apalagi selama ini, Rizal Ramli juga masih sementara aktif sebagai anggota Panel Ahli PBB bersama tiga penerima hadiah Nobel dan lima ekonom terkemuka di dunia. Bahkan belum lama ini ia baru kembali menghadiri pertemuan Panel Ahli PBB di New York, dan juga baru saja usai memberikan kualiah umum pada simposium internasional yang digelar Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Dunia di Universitas Thammasat, Bangkok-Thailand.

Dan bukti keempat yang tak terbantahkan. Yakni, meski tak punya kedua orangtua lagi di saat masih berusia 6 tahun, Rizal Ramli nyatanya lebih memilih memperjuangkan hak-hak rakyat di banding kepentingannya sendiri. Dan sekali lagi, perjuangan itu sudah dimulai sejak mahasiswa dulu dan hingga kini.

Artinya, sangat sulit bagi orang seperti Rizal Ramli yang sejak bocah telah berstatus yatim-piatu untuk tidak memperhatikan dirinya terlebih dahulu. Kalau anak zaman sekarang bilang begini: “Ngapain capek-capek ngurus dan bela-belain orang lain….”.

Tetapi sungguh, Rizal Ramli tidaklah demikian. Ia nampaknya telah berhasil ditempa oleh “alam” sejak dulu dengan beraneka-ragam kepahitan hidup yang harus dialaminya. Hingga kemudian jiwanya benar-benar berhasil terbentuk sebagai seorang pemimpin yang lebih mengutamakan kepentingan orang banyak daripada kepentingannya sendiri. Bukankah memang begitu sikap dan sifat mulia dari seorang yang benar-benar layak disebut pemimpin…???

Tanpa bermaksud mengerdilkan figur lain yang telah mengukuhkan diri sebagai orang yang paling tepat menjadi capres. Bahwa kita saat ini harusnya bisa secara sadar membedakan, mana sosok yang secara instan ingin menjadi pemimpin, dan mana sosok yang memang lahir sebagai pemimpin secara alami.

Maaf, saya belum bisa menunjuk seseorang telah layak dipercaya sebagai pemimpin rakyat di saat kemunculannya secara instan dimulai dari partai politik. Artinya, sebelum memasuki parpol, yang bersangkutan bukanlah siapa-siapa. Dan ini sangat berbeda dengan kemunculan Rizal Ramli yang sudah menjadi “apa-apa” meski tidak dilalui dalam sebuah parpol. Apalagi saat ini banyak figur yang muncul dari parpol satu ke parpol lainnya. Artinya, ketika ia merasa tak “puas” di parpol satu, ia lalu melompat ke parpol lainnya hanya demi mewujudkan “ambisinya” secara instan.

Sosok yang muncul secara instan, dan pemimpin yang digembleng dengan cara-cara rekayasa dalam parpol, tentunya hanya akan memunculkan jiwa kepemimpinan yang cenderung berpihak kepada kepentingan diri sendiri dan untuk keuntungan partai politiknya saja, bukan diluapkan untuk kepentingan rakyat sebagaimana yang sampai saat ini konsisten diperlihatkan Rizal Ramli. Itu pula kiranya alasan mengapa Rizal Ramli hingga saat ini tidak memasuki parpol tertentu.

Semoga saja ada parpol (bukan parpol korup) secara jeli mampu melihat sosok yang benar-benar selama ini mencintai rakyat daripada dirinya.

Salam Perubahan…!!!
-----------
*Sumber: Kompasiana

Kamis, 28 November 2013

Teriris Hatiku Mengetahui Kasus Bank Century

Kategori: Opini*
[RR1online]:
MENGIKUTI perkembangan kasus Bank Century, rasanya hanya membuat hati rakyat kecil jadi sakit dan terkoyak perih, termasuk saya sebagai warga negara.

Bagaimana tidak. Dari kasus Bank Century itu dapat disimpulkan salah satunya adalah, bahwa BETAPA GAMPANGNYA PEMERINTAH MENGUCURKAN DANA talangan (bail-out) kepada bank “kecil” seperti Bank Century. Nilainya pun sangat fantastis dan tak tanggung-tanggung, yakni Rp.6,7 Triliun.

Alasan pemerintah bersama Bank Indonesia beserta unsur terkait lainnya menggelontorkan dana sebesar itu adalah demi sebuah “penyelamatan”, yakni agar tidak terjadi krisis ekonomi yang hebat secara nasional. Masuk akal tidak alasan ini jika diketahui bank tersebut hanyalah bagai ombak kecil di tengah lautan luas..???

Apalagi ketika itu pihak pemilik bank Century sebetulnya hanya membutuhkan dana talangan (yang lebih pas disebut plafon) Rp. 1 Triliun, tetapi kok bisa digelembungkan hingga mencapai Rp. 6,7 Triliun sebagai bail-out? Ibarat hanya butuh sepeda tapi diberi mobil. Ada apa ini? Sungguh sebuah misteri yang sangat luar biasa, dan siapa pun itu yang terlibat di dalamnya tentunya wajib untuk segera diungkap!!!

Namun terlepas apakah pihak pemilik Bank Century kemudian benar-benar menerima dana yang telah dikucurkan oleh “pemerintah” itu atau tidak, dalam hal ini tentunya tak ada hubungannya dengan saya. Artinya, itu bukanlah urusan saya.

Tetapi ketika saya mengetahui bahwa betapa GAMPANGNYA “pemerintah” (Bank Indonesia beserta unsur terkait lainnya) mencairkan duit hingga triliunan rupiah kepada bank kecil seperti Century tersebut, maka inilah yang kemudian “berdampak sistematis dam sistemik” terhadap sekujur tubuh saya. Hahahaaa…Mengapa???

Sebab, darah saya terasa mendidih dan hati saya terasa teriris ketika  mengetahui betapa gampangnya “pemerintah” menyalurkan dana sebesar itu kepada bank kecil (Century) yang telah diketahui sejak dulu memang sudah “sakit-sakitan”, tetapi toh tetap dipaksakan oleh “pemerintah”.

Sungguh, saya merasa sakit hati! Sebab di sisi lain, saya beberapa kali telah pernah mengajukan permohonan bantuan modal usaha kepada sejumlah bank, tetapi semuanya ditolak. Padahal, jika permohonan saya dikabulkan, maka usaha ini bisa memberi lapangan kerja buat sedikitnya 150 orang.

Saya memang sangat memaklumi kekurangan saya yang tak punya nilai agunan cukup sebagai dasar utama penolakan tersebut. Sehingga itu saya tak ingin menabrak aturan yang sudah disyaratkan oleh semua bank tersebut.

Tetapi terus terang, hati saya terasa sangat memberontak, seakan tak menerima  ketentuan tentang agunan tersebut. “Bank Century bisa dengan amat… sangat.. sangat mudahnya disuntik uang Triliunan Rupiah, ekornya saja Rp.700 miliar (dari Rp.6,7 Triliun tersebut) sudah sangat besar, tapi kok saya tak bisa??? Padahal saya cuma butuh 4 sampai 6 miliar??” begitu celoteh saya ketika itu, dan kalimat inilah yang terus menari-nari di benak saya hingga saat ini.

Suatu ketika saya pernah bincang-bincang dengan seorang teman yang sudah sukses menjalankan usaha kulinernya. Dalam perbincangan tersebut terungkap beberapa hal menarik.

Pertama, teman saya itu ternyata menceritakan bahwa dirinya adalah seorang “buronan” bank yang sudah lari ke sana-ke mari karena dililit utang bank atas usahanya yang macet di tempat sebelumnya.

Merasa lelah dikejar-kejar, ia pun mendapat ide untuk kembali meminta modal di bank tetapi dengan identitas (namanya) yang sudah berubah dan bermukim di daerah lain, tentunya dengan KTP yang sudah berubah pula. Ini yang kedua.

Ketiga. Untuk mewujudkan idenya itu, ia hanya butuh modal kecil untuk menyewa/kontrak rumah setahun sebagai tempat usahanya (sebagai pancingan) dan juga modal alakadarnya untuk pengadaan bahan baku jualan kulinernya.

Hal menarik yang keempat, saat usahanya itu telah berjalan, ia kemudian mencari rumah yang ingin dijual oleh pemiliknya. Ia berani melakukan tawar-menawar harga meski uang belum ada di tangannya. Setelah sepakat, ia pun meminta foto-copy akte kepemilikan tanah/rumah tersebut. Foto-copy akte inilah yang dijadikan sebagai bahan ajuan permohonan modal ke bank.

“Berapa Bapak nilai rumah ini ketika saya jadikan agunan untuk mendapatkan modal usaha?” begitu bekal pertanyaannya (teman saya tersebut) kepada pihak bank.

Alhasil, ada bank yang siap memberikannya jumlah dua kali lipat dari harga jual rumah yang telah disepakati (dalam tawar-menawar) dengan pemiliknya itu. Padahal sebelumnya, ia bukanlah nasabah (tabungan) di bank bersangkutan.

Dari dana yang telah cair dari bank, ia pun bisa membayar harga rumah tersebut, dan selebihnya ia pakai untuk modal usaha.

Dari hal-hal menarik dalam perbicangan tersebut, saya kemudian tertarik untuk mengikuti langkah tersebut. Tetapi karena saya bukan seorang “buronan” jadi saya tak perlu mengubah identitas saya hehehee…!?!

Pada Maret 2013, saya pun mengajukan permohonan permintaan modal usaha kembali ke sejumlah bank dengan menggunakan jurus seperti yang dilakukan oleh teman saya itu. Yakni, saya berhasil meminjam foto-copy sebuah akte tanah/rumah yang oleh pemiliknya memang ingin dijual seharga Rp.3 Miliar.

Bank yang menjadi harapan saya adalah Bank Muamalat, sebab saya merasa yakin bank inilah yang mungkin bisa lebih mulia, dan juga menilai bahwa mungkin bank inilah yang lebih mampu menentukan orientasi terhadap keunggulan tersembunyi yang dimiliki oleh pemohon modal.

Dengan berharap bisa mendapat penilaian di atas dari harga rumah tersebut, Bank Muamalat pun melakukan survei ke lokasi. Alhasil, mereka hanya bisa menilai tanah dan rumah tersebut sebesar Rp.3,8 Miliar. Dan saat itu saya nyatakan setuju dan minta untuk segera diproses lebih lanjut.

Tetapi, esoknya terjadi pergantian pimpinan cabang Bank Muamalat di daerah saya, Gorontalo. Dan saya merasa perlu untuk melakukan silaturahmi kepada pimpinan baru tersebut pada keesokan harinya. Tetapi, sungguh di luar dugaan, pimpinan yang baru itu menolak proses permohonan saya, dan dengan angkuhnya mengatakan: “…maaf, kalau Bapak bukan nasabah (tabungan) kami, maka saya pastikan proses ini tidak akan bisa direalisasikan…”.

Mendengar itu, saya tak mau berdebat, saya lebih memilih untuk mengalah dan bergegas untuk mengembalikan urusan ini kepada Yang Maha Pemberi Kesuksesan. Seperti biasa, saya hanya berceloteh dan menyayangkan proses awal sebelum survei lokasi, yakni mengapa pihak Bank Muamalat tak mengatakan memang sejak awal jika ada syarat yang mengharuskan pemohon adalah hanya berasal dari nasabahnya.

Secara lembaga memang saya tidak tercatat sebagai nasabah (tabungan) Bank Muamalat. Tetapi secara moral saya adalah “nasabah” atau bagian dari simbol kental yang menjadi nuansa di Bank Muamalat tersebut, yakni nuansa Islam.

Tetapi tak mengapalah, itu hak mereka. Sehingga penolakan-penolakan dari bank tak jadi soal buat saya. Lagian saya selalu berprasangka baik dan positif kepada Tuhan, dengan merasa yakin bahwa di balik semua itu tentu ada rencana Tuhan yang lebih baik untukku.

Oh..iya, usaha yang kugeluti itu adalah penerbitan media cetak bulanan. Dan sekadar diketahui, embrio usaha ini lahir sejak awal dari perjalanan hidupku sebagai seorang freelance (tahun 1992-1994), lalu bergabung sebagai seorang jurnalis di Harian FAJAR Makassar (Jawa Pos Grup tahun 1994-2000). Tahun 2000 saya mengundurkan diri dari harian terkemuka di Makassar itu karena tuntutan hati untuk bisa segera mandiri.

Upaya mandiri itu sebetulnya sudah saya lakukan di tahun 1998 sebagai awal perjuangan memasuki dunia usaha Penerbitan Media Cetak milik sendiri. Entah mengapa keinginan saya begitu sangat besar untuk menjadi seorang pengusaha penerbitan media cetak. Padahal dari segi ukuran kemampuan modal secara finansial saya nol besar. Berharap dari orangtua tidak mungkin, karena saya tahu, ayah saya hanya seorang pensiunan PNS golongan rendahan, ibu saya juga hanya seorang penyemangat dalam rumah tangga untuk ayah dan anak-anaknya.

Tetapi saya tetap saja berapi-api untuk ingin melalui hidup sebagai seorang pengusaha penerbitan media cetak. Sehingga kemudian harapan itu benar-benar kuperjuangkan dan kulakukan di tahun 1998.

Dan sejak tahun itu (hingga saat ini), saya tak pernah mendapat sokongan modal usaha sepeser pun dari bank atau dari lembaga-lembaga keuangan lainnya, apalagi dari pemerintah. Sehingga inilah alasan, mengapa hati saya merasa sangat teriris ketika  mengetahui “pemerintah” dengan sangat… sangat MUDAHNYA menggelontorkan dana triliunan rupiah kepada “bank kecil” seperti Bank Century, mengapa bukan pengusaha “kecil” seperti saya ini dan kepada mereka (rakyat kecil) yang juga punya potensi besar untuk menjadi sukses. Ini pula sekaligus yang menjawab tentang mengapa saya sangat “membenci” pemerintah saat ini.

Tetapi kebencian saya ini bukanlah sebuah dendam. Karena hati saya selalu mulia dan tulus demi menghidupi keluargaku melalui jerih-payah dan dari tetesan keringatku sendiri meski tanpa bantuan modal dari bank.

Satu-satunya fasilitas sebagai penopang operasional “start” awal menjalankan usaha saya adalah hanyalah satu unit komputer bekas, atau setara Rp. 750 ribu. Tetapi dari komputer “jadul” itulah saya bisa berkreasi dan menata helai demi helai lembaran media cetak dengan harapan kelak saya bisa mendapatkan modal usaha yang besar untuk meraih sukses besar pula.

Salah satu dasar pemikiran yang menjadi motivasi saya untuk mendapatkan modal usaha dari bank adalah, bahwa tanpa bantuan modal dari bank saja, toh..selama ini saya masih mampu menjalankan usaha penerbitan ini, apalagi seandainya diberi bantuan, maka tentu akan lebih dahsyat lagi.

Buktinya, dari satu unit komputer bekas itu (Alhamdulillah) saya mampu menafkahi seorang istri dan 3 orang anak saya, membeli mereka sebuah rumah, mampu gonta-ganti (memiliki) kendaraan, mulai motor hingga mobil. Dan sempat memperkerjakan 20 orang, masing-masing 15 orang sebagai wartawan dan 5 orang staf. Meski saat ini wartawan yang masih bertahan hanya tersisa 5 orang, dan staf tak ada lagi. Tapi jika diakumulasikan dari tahun 1998 hingga sekarang, saya sudah memperkerjakan orang sekitar 350 orang.

Kembali pada urusan proses di Bank Muamalat. Mengapa saya setuju dengan harga (Rp.3,8 M) yang sudah dimunculkan oleh pihak Bank Muamalat ketika itu. Sebab, Rp.3 M bisa saya kondisikan sebagai harga rumah tersebut yang di atas bidang tanahnya juga terdapat usaha kos-kosan yang sedang  berjalan (terisi full) sebanyak 30 kamar (Rp.500 ribu-Rp.750 ribu perkamar/bulan). Artinya, dengan usaha kos-kosan itu beban saya sudah tidak terlalu berat pada bank.

Selanjutnya, sekitar Rp.800 juta bisa saya arahkan untuk pengadaan mesin cetak standar, penambahan beberapa unit komputer, dan fasilitas penunjang operasional lainnya seperti kertas, tinta dan lain sebagainya. Semuanya akan saya gunakan untuk memunculkan sebuah media cetak harian.

Sebab, di Gorontalo hanya terdapat dua media cetak harian, itu pun kedua-duanya masih “satu atap”, yakni di bawah manajemen “Jawa Pos Grup”. Artinya, persaingan usaha bisnis media cetak di Gorontalo saat ini ibarat di atas sebuah ring tinju yang petinjunya adalah dua orang bersaudara yang saling menyayangi. Apa hebatnya..??? Dan untuk urusan kontrol sosial dari Pers terhadap Pemda-pemda, kepada bank-bank, dan aparat-aparat hukum nakal lainnya, silakan pembaca sendiri yang terjemahkan, apakah bisa berjalan dengan baik atau tidak…???

Berikut perjalanan usaha kemandirianku (tanpa bantuan modal dari bank) dalam menjalankan “JASA” Penerbitan Media Cetak (termasuk penerbitan buku-buku):
1.    Surat Kabar Umum “PAKARena” Makassar (1998-1999) — Status: independen;
2.    Tabloid “PARIWARA” Makassar (1999-2000) — Status: kerjasama dengan salah satu sekolah tinggi di Makassar; — tahun 2001 hijrah ke Gorontalo. Sehingga:
3.    Tabloid “PARIWARA” Gorontalo (2001-2003) — Status: independen;
4.    Buku “Menabur Anggaran, Menuai Kinerja”  (2003) — Status: Penulis, kerjasama Biro Keuangan Pemprov Gorontalo;
5.    Buku “Katalog Penduduk Miskin Prov. Gorontalo (Hasil Investigasi 2004) — Status: Penulis, kerjasama Pemrov. Gorontalo;
6.    Majalah “BENTOR” (2003-hingga sekarang, periodik dwi-bulan) — Status: Independen;
7.    Buletin “Modilito” (2005) — Status: Kerjasama Pemkab. Gorontalo (sekali terbit);
8.    Buletin “Caleg Kita” (2009) — Status: Kerjasama dua orang caleg DPRD Prov. Gorontalo dari dua partai berbeda;
9.    Majalah “Lampu Kuning” (2009-sekali terbit) — Status: Independen;
10.    Majalah “Fitrah Mandiri” (2009-2010) — Status: Kerjasama BUMD (PT. Gorontalo Fitrah Mandiri);
11.    Majalah “Berguru” (2010-sekali terbit) — Status: Kerjasama Pribadi Rusli Habibie (saat itu menjabat Bupati Gorontalo Utara);
12.    Majalah “Seputar Pohuwato” (2010) — Status: Kerjasama DPRD Kab. Pohuwato;
13.    Majalah “Gerbang Emas” (2010-2011) — Status: Kerjasama Pemkab. Gorontalo Utara;
14.    Buku “Berkarya Nyata, bukan Berkarya Kata” — Status: Kerjasama Pemkab. Gorontalo Utara;
15.    Majalah “Matahati dan MADU” — Status: Kerjasama pasangan nomor urut 2 Calon Walikota 2013-2018;
16.    Majalah “Harapan Rakyat” — Status: Kerjasama pasangan nomor urut 1 Calon Walikota 2013-2018.

Sekali lagi, jika saja tak ada kasus Century yang dengan mudah dan gampangnya pemerintah mencairkan uang negara, dan jika saja tak ada pengalaman dari seorang teman saya yang pernah jadi “buronan” itu lalu tiba-tiba bisa sukses karena kembali berhasil “memperdaya” bank tersebut, maka pastilah hati saya tidak terlalu perih ketika harus mendapat penolakan dari bank.

Demikianlah artikel ini saya tulis, yang sekaligus sebagai sebuah “warisan” buat anak-anak dan cucu-cucu saya kelak. Yaitu sebagai bukti, bahwa ayah dan kakek mereka pernah hidup di zaman edan. Lalu mereka pun tentu akan berkata: di zaman edan itu ada bank yang hanya butuh satu motor namun pemerintah memberinya sejuta mobil. Lalu giliran ayah dan kakek saya cuma butuh angin untuk sepedanya yang kempis malah tak digubris. Sungguh menyakitkan…!!??!!

“Tapi hebat mana, apakah para bank dan pengusaha yang bisa sukses karena dapat bantuan modal miliaran hingga triliunan itu, atau ayah/kakek saya…???” ujar anak-anak dan cucu saya kelak.

Salam Perubahan…
------------
*Sumber: Kompasiana

Minggu, 10 November 2013

SBY Banyak Mencetak “Orang Gila dan Penjahat”?



Kategori: Opini*
[RR1online]:
JUDUL di atas mungkin boleh juga dijadikan sebagai indikator ketidakberhasilan SBY selama menjabat presiden dua periode dalam membangun ekonomi di negeri ini.

Alasannya, hingga saat ini kondisi ekonomi negara kita masih saja berantakan dan tak menentu. Sangat jauh dari janji-janji yang dilontarkan SBY.

Di saat ekonomi rakyat belum berhasil diiperbaiki, SBY dengan kekuasaannya malah memaksakan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) naik. Seakan tak ada lagi cara lain yang bisa ditempuh selain menaikkan harga BBM, yang kemudian dari situ seluruh kebutuhan hidup masyarakat pun jadi ikut naik.

Sungguh, dalam kondisi seperti itu membuat masyarakat bawah makin terbebani dan sangat sulit berkembang: “…hidup segan, mati pun enggan…”. Dan hal ini pula yang mendorong jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia kian meningkat. Diperkirakan sekitar 50 juta atau 25 persen dari jumlah penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa akibat mengalami himpitan kebutuhan hidup (krisis ekonomi).

“’Jumlah ini cukup besar. Artinya, satu dari empat penduduk Indonesia mengidap penyakit jiwa dari tingkat paling ringan sampai berat,” ungkap mantan Ketua Persatuan Dokter Jiwa Indonesia, Prof Dr Dadang Hawari kepada SP di Jakarta, berkaitan dengan hari Kesehatan Jiwa Sedunia yang diperingati setiap 10 Oktober.

Menurut Guru Besar Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini, gangguan jiwa adalah sindrom atau pola tingkah laku dan psikologi yang secara klinis bermakna dari seseorang dan berhubungan dengan penderita (distress) atau disabilitas atau meningkatnya risiko untuk penderita sakit, disabilitas, kematian atau kehilangan kebebasan. Fakta meningkatnya penduduk yang mengalami gangguan jiwa akibat krisis ekonomi (beban hidup) di tanah air, sangat banyak.

”Kasus Pasuruan telah membuktikan bahwa masyarakat telah benar-benar dilanda depresi. Hanya demi uang Rp 30.000 rela berdesak-desakan, hingga 21 nyawa orang melayang,” ujarnya.

Juga dengan seorang berinisial AP menuturkan kenekatannya menjabret. karena desakan ekonomi serta banyak utang. Salah satunya ia merasa tersiksa menanggung sisa utang Rp.3 juta untuk biaya operasi istrinya yang mengalami keguguran. “Orang yang meminjami uang itu berulang-ulang menagih. Itulah sebabnya saya nekat berbuat jahat,” ujar AP, seperti dikutip suaramerdeka.

Begitu pun dengan Atun, seorang janda, saat tertangkap tangan mengaku sengaja mencuri 10 kilogram gula merah karena terhimpit kebutuhan ekonomi untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil karena suaminya telah meninggal dunia. Namun akibat dari perbuatannya itu, Atun di ancam penjara 7 tahun.

Hal yang sama juga dialami Agus yang terpaksa diancam penjara 5 tahun karena kepergok mencuri isi kotak amal pondok pesantren yang terpasang di pintu masuk Indomaret, Jalan Mangga, Gandaria Selatan, Cilandak, Jakarta Selatan, dini hari, pada Mei 2013 lalu. Di hadapan polisi, Agus mengaku nekat mencuri karena lapar.

Lalu pula seorang warga Gang Tani, Kelurahan Pringsewu Barat-Lampung, nekat mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri, Rabu (9/10/2013), karena tidak kuat hidup miskin.

Pemerintah tidak boleh lagi menutup mata, jika tidak ingin tingkat depresi masyarakat semakin tinggi karena desakan ekonomi yang akan membuat orang mengambil jalan pintas, seperti bunuh diri dan melakukan kejahatan lainnya (misalnya mencuri, merampok, dan bahkan membunuh) karena telah mengalami gangguan jiwa ataupun skizofrenia.

Meski di sisi lain pemerintah sering membeberkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah semakin membaik. Menurut saya itu adalah bohong besar. Sebab faktanya, sangat banyak rakyat Indonesia yang melakukan bunuh diri dan berbuat kejahatan hanya karena terhimpit masalah ekonomi.

Jika angka pertumbuhan ekonomi itu memang benar, maka saya yakin yang paling banyak menikmati pertumbuhan ekonomi tersebut hanya selalu yang itu-itu saja, yakni mereka yang sejak dulu berada di kelas atas, bukan rakyat yang hingga kini masih tetap berada di level bawah dengan 1001 mimpi-mimpi indah yang tak kunjung terwujud.

Mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli, pernah menanggapi keras statement pemerintah tentang pertumbuhan ekonomi yang disebutkan telah meningkat itu. Rizal Ramli mengatakan, pemerintah jangan terlalu bangga dengan pertumbuhan ekonomi saat ini (yang mencapai 5,7 persen). Sebab, katanya, yang 5 persen lebih itu adalah hanya dinikmati oleh kalangan atas.

“Di Indonesia, mereka inilah (kalangan level atas) yang semakin makmur dan kaya. Bahkan 2,5 persennya sangat luar biasa kaya-nya. Sementara, terdapat 80 persen lebih rakyat Indonesia dari sisi kesejahteraan masih bermasalah. Daya beli masyarakat semakin merosot karena banyaknya pengangguran dan harga pangan yang kini meloncat luar biasa tingginya,” ujar Rizal Ramli yang kini memimpin Kadin selaku Ketua Umum periode 2013-2018.

Sehingga dalam hal ini, menurut saya, Rizal Ramli selaku ekonom senior tentu pula sangat prihatin dengan cara-cara kepemimpinan SBY yang selama ini cenderung sangat kurang peduli terhadap nasib rakyat serta masa depan negara ini. Apakah SBY tak punya kemampuan untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat kita?

Tetapi saya agak curiga, jangan-jangan SBY memang sengaja ingin menjadikan rakyat ini tetap berada di garis kemiskinan dan kebodohan, agar pada gilirannya (ketika Pemilu) rakyat bisa kembali dengan mudah dibeli suaranya?

Bukan hanya orang miskin yang berhasil dicetak sebagai penderita gangguan jiwa, SBY di sisi lainnya juga nampaknya “sukses” melahirkan “orang gila dan penjahat” di kalangan kelas atas, yakni sebagai koruptor. Pun “gila” harta, tahta dan wanita.

SBY sebagai kepala negara tidak bisa lepas tangan, misalnya dengan menuding bahwa munculnya orang-orang yang mengalami gangguan jiwa dan yang melakukan kejahatan itu adalah karena faktor individu masing-masing. Jika pemikiran seperti ini yang ada di benak SBY, maka apa gunanya ada pemimpin dan apa manfaatnya ada pemerintah jika hanya menganut faham individualis…???

Kondisi penduduk Indonesia yang banyak mengalami gangguan jiwa ini juga bisa makin diperparah dengan program-program dan siaran dari sejumlah stasiun televisi yang sangat tidak mendidik. Misalnya, penayangan acara yang sengaja mempertontonkan pria berpakaian dan berlagak wanita. Tujuannya untuk menghibur, tetapi  tanpa disadari itu justru membuka lebar peluang penonton yang masih taraf gejala gangguan jiwa ringan, bisa menjadi berat, yakni dengan melakukan hal serupa seperti yang disuguhkan oleh stasiun televisi tersebut.

Dan inilah wajah Indonesia terkini: “.. berdebat bukan karena mencari solusi; diam bukan berarti sedang berpikir; menangis bukan karena sedih; dan tertawa bukan karena sedang bahagia..”, tetapi karena sedang mengalami gangguan jiwa. Penyebabnya, karena pemerintah tidak pernah memahami jiwa serta cita-cita luhur negara dan bangsa (manusia) Indonesia.

------------
*Sumber: Kompasiana

Rabu, 06 November 2013

Waduh…Buruh dan PNS, juga dengan Pengusaha Lainnya Sudah Mulai Coba Dibenturkan

Kategori: Opini*
[RR1online]:
ADA statement yang saya anggap bodoh dari seorang pengusaha, bahkan sangat bodoh.
Seperti yang dilansir detik.com. ini dia statement-nya: “Ini nggak fair, gaji golongan IA PNS saja Rp 1,2 juta/bulan, sedangkan upah buruh sudah Rp 2,4 juta/bulan (di Jakarta). Ini masalah keadilan,” kata Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) DKI Jakarta Anton Supit dalam diskusi ‘Polemik’ soal Upah Minimum Provinsi (UMP) di rumah makan kawasan Cikini, Jakarta, Sabtu (2/11/2013).

Pernyataanya seperti itu, saya yakin, sangat mengusik pemikiran para buruh dan para PNS (termasuk TNI-Polri), bahkan bisa memancing kegaduhan dengan saling bela-membela diri terhadap “profesi” masing-masing pihak. Dan akibatnya, mereka pun semuanya akan benci-membenci dan saling merendahkan satu sama lainnya.

Saya pikir, pengusaha yang melontarkan statement bodoh seperti itu adalah pengusaha yang hanya ingin cari aman, yang ujung-ujungnya hanya bisa menguntungkan diri sendiri atau kelompoknya saja.

Sehingga ada dua kemungkinan tipe pengusaha pelontar statement itu. Yakni, kalau dia tidak bodoh, maka sudah pasti ia adalah pecundang yang sengaja ingin mengadu-domba para buruh dan PNS (termasuk TNI-Polri). Jika kedua-duanya bukan, maka boleh jadi pengusaha itu diperalat oleh sebuah laten dari pihak tertentu. Tetapi tetap saja dasarnya bodoh.

Pernyataan dari seorang pengusaha yang mengatasnamakan dirinya sebagai pengurus teras pada sebuah asosiasi pengusaha itu, menurut saya, sangat menciderai hati kedua-belah pihak (buruh dan PNS). Sebab, memang tidak semua buruh berada pada garis kesusahan hidup, begitu pun dengan kondisi ekonomi PNS yang juga tidak seluruhnya berada dalam garis kemapanan.

Harusnya, pengusaha tersebut bisa dengan cerdas dan bijak menempat suatu masalah pada posisi substansialnya tanpa melibatkan dan mengusik pihak lainnya. Artinya, jika ini adalah persoalan buruh, maka jangan melibatkan PNS dengan serta-merta membanding-bandingkannya satu sama lain. Masalah buruh adalah persoalan tersendiri, tak bisa dicampur-adukkan atau diseret masalahnya untuk memasuki ruang lingkup PNS.

Sebab, gaji dan tunjangan PNS sudah diatur sejak dulu oleh pemerintah dalam sebuah ketentuan. Yakni, saat ini bisa dilihat pada Lampiran Peraturan Pemerintah RI No.22 Tahun 2013 tentang Perubahan Kelima Belas Atas Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Pada lampiran peraturan itu, disebutkan Gaji PNS Golongan Ia, bukan seperti yang dikatakan oleh pengusaha tersebut, tetapi tepatnya yang benar adalah Rp. 1.323.000 (masa kerja 0-1 tahun). Lihat tabel gambar di bawah.
Daftar Gaji PNS tahun 2013. (Sumber: photobucket.com)


Tabel di atas adalah gaji pokok PNS, dan itu belum termasuk tunjangan. Kalau bicara tunjangan, PNS memang pekerjaan yang sangat basah. Tunjangan ini merupakan imbalan kerja di luar gaji yang dapat diwujudkan berupa honorarium, tunjangan tetap (tunjangan beras, tunjangan keluarga, dan tunjangan-tunjangan lainnya), pun ada insentif, bonus atas prestasi, pesangon, atau pensiun. Sedangkan PNS di daerah berlaku ketentuan Tunjangan Kinerja Daerah (TKD) yang tertuang dalam SK Gubernur di daerah masing-masing.

Sehingga, selama ini, gaji pokok PNS memang terbilang kecil seperti pada golongan 1a (terendah) Rp. Rp. 1.323.000, dan yang tertinggi golongan IVe Rp. 5.002.000, tetapi pada kenyataannya mendapatkan penghasilan tambahan dari berbagai honor.

Dikutip detikFinance dari beberapa data di Kementerian PAN & RB, Selasa (30/4/2013) berikut besaran tunjangan kinerja bagi PNS berdasarkan grade dan jabatannya.
a. Eselon I : Grade 15-17 : Rp 19.360.000
b. Eselon II : Grade 13-14 : Rp 7.529.000
c. Eselon III : Grade 10-12 : Rp 4.819.000
d. Eselon IV : Grade 5-9 : Rp 2.915.000
e. Jabatan Fungsional : Grade 6-9 : Rp 2.585.000
f. Jabatan Fungsional Umum : Grade 1-5 : Rp 1.730.000

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Azwar Abubakar mencontohkan pejabat eselon I mendapat tunjangan Rp 19 juta lebih. “Ditambah dengan tunjangan lain, penghasilannya tidak kurang dari Rp 30 juta sebulan,” jelas Azwar. Seperti dilansir detik.com.

Sungguh angka penghasilan fantastis jika memang ingin benar-benar dibandingkan dengan gaji para buruh yang saat ini hanya menuntut kenaikan gaji hingga Rp.3,7 juta/bulan.

Jadi, ada baiknya, para pengusaha janganlah membanding-bandingkan gaji buruh dengan PNS. Apalagi secara spesifik banyak yang bisa dijadikan sebagai pembeda antara buruh dan PNS. Misalnya, menurut saya, makna gaji  dan penghasilan itu adalah dua kata yang memiliki pemahaman yang berbeda. Artinya, gaji dan penghasilan itu tidak sama maknanya.

Buruh dalam hal ini memang hanya menerima gaji, sementara PNS selain mendapat gaji juga memperoleh penghasilan lain berupa tunjangan (PNS nakal bahkan ada yang menjadi calo proyek untuk mendapatkan fee).

Makanya, sejak dulu hingga kemarin, minat orang untuk menjadi PNS itu sangat membludak jumlahnya dan selalu menjadi ambisi dari para pencari kerja, sampai-sampai tak sedikit yang siap membayar hingga puluhan juta rupiah demi menjadi seorang PNS.

Jadi sangat bodohlah orang yang ingin membanding-bandingkan gaji buruh dengan penghasilan para PNS (TNI-Polri). Kasihan buruh dan kasihan juga PNS jika ingin dibenturkan dan diadu-domba seperti itu. Sebab, sejauh ini ada juga PNS (meski tak seberapa jumlahnya) yang benar-benar mengabdi bukan semata karena ingin mendapatkan kekayaan seperti para pejabat korup yang kebanyakan.

Berikut akibat dari kebodohan pengusaha itu yang telah membanding-bandingkan antara dunia “pegawai swasta” dan dunia “pegawai negeri”, yakni kedua belah-pihak saling memberi komentar yang saling merendahkan yang mengarah kepada kebencian satu sama lain. Seperti dikutip dari detik.com, di antaranya:

Caesar Binti Soemarno @caesar.soemarno:Mohon jangan dibandingkan! Buruh kan kerjanya berat all out 8 jam, mereka tidak dapat tunjangan, pensiun dan resiko di PHK tinggi. Wajar kalau mereka dapat 2,4 juta, kalau PNS mereka kerjanya enak, tunjangan tinggi, jaminan hari tua dll dan mungkin uang yang diterima bisa lebih dari itu karena banyak tunjangan. Jadi mohon para pengusaha yang membuat pernyataan seperti itu di survey dulu. Anda butuh buruh, jadi perlakukan mereka dengan baik karena mereka juga butuh kehidupan yang layak. Terima kasih.

Aku_juga_manusia: “Nih pengusaha bikin gw salut…mungkin cuma lulusan SD tapi sukses jadi pengusaha…tp kalo soal ngomongnya kayak gitu…wajar ya…ikutin pendidikannya… emang pns elo yg gaji? rela lo gaji buruh kayak pns tp kerjanya boleh semaunya…trus korupsinya miliaran…??

Jenov @jenov:Gaji pns dr uang negara dr pajak dr gaji buruh…bahkan pns yg sdh pensiun msh d gaji pdahal sdh tdk produktiv/menghasilkan beda sma buruh pensiun ya udah gak ada pensiun/gak dpat gaji, silahkan bandingkan kinerja dan produktivitas pns dgn buruh….

lasmojo @lasmojo:buruh sialan,,,,, lihat kami para ekonomi lemah pengen mandiri, buka toko, buka bengkel, cuci mobil, kalo kami menggaji 2,4 modarr.. usaha kita

Tufy Black Less @tuffyputra:Hahahah ada2 aja bandingin dengan PNS … PNS tuh pemalas pemangku nasib ,, dan PNS itu ambil pajak dari BURUH ….. Dan PNS itu Pemalas sedngkan buruh ,, semalas apapun pasti di dalam area pabrik dan bekerja , sampe2 gak ketemu matahari

Yovan Moningka @yovan.moningka:Hallo,pak anton stupit atau apalah margamu,pns itu di tanggung negare sedangkan kite ditanggung nerake.jadi klo ente ngomong pake otak….!

mbahmoo5@yahoo.com @mbahmoo5@yahoo.com:pak, kalau menolak kenaikan upah buruh ya tolak aja. jgn melibatkan upah PNS. bapak mau nggak tetap bayar gaji buruh kalau dah pensiun kayak PNS? bapak siap nggak kalau nantinya buruh itu semau gue kayak PNS. yang jam 10 pagi dah nongkrong di mall?

kim @kim:Upah Naik, Dollar Naik, Investor kabur, Buruh ngangur, vietnam, ,Myanmar, Kamboja, mereka kebagian rejeki gara2 kita….. kita lagi dimainkan pihak luar dan pemerintahnya hanya diam2 saja. Ampoen Minah……

Nurlail:Seharusnya pa anton tidak berbicara sembarangan, krn bapak tidak berada pada posisi sebagai buruh, yang kerja full time libur susah, sakit gaji dipotong dibandingkan dengan pns yang bisa ambil libur kapan aja jam 12 sudah ada di mall, tiap thn habisin anggaran, kalau memang pns tidak enak kenapa setiap penerimaan tahun seabreg abreg yang mau jadi pns sampai rela bayar puluhan juta jadi pns, krn apa pa pns sakit berbulan bulan tetap dibayar, memang tidak semua pns santai semuanya tergantung..

Rinkelburst @rinkelburst:Bilang saja sama buruh-buruh yang terhormat itu, kalau mau gaji besar, sekolah sampai sarjana, baru minta gaji sebesar itu, jangan minta yang tidak-tidak tapi kompetensi berada di tingkat bawah.

Selanjutnya, menyikapi hal tersebut, Rizal Ramli selaku Ketua Umum Kadin melihat ini hanyalah persoalan buruh dan pengusaha (bukan PNS). Ia menyatakan, pengusaha dan buruh bukanlah pihak yang seharusnya diposisikan berhadapan sebagai lawan. Justru pengusaha dan buruh adalah dua potensi yang harus disinergikan untuk membangun ekonomi Indonesia.

“Jangan lagi benturkan pengusaha dan buruh. Kalau buruh dan pengusaha bisa bersinergi akan mampu membawa Indonesia menjadi raksasa Asia yang tumbuh di atas 10 persen dalam beberapa dekade ke depan,” ujar Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, DR. Rizal Ramli, saat membuka Munas VII Kadin Indonesia, di Hotel Manhattan, Selasa (22/10).

Menurut ekonom senior yang gigih dan konsisten mengusung ekonomi konstitusi ini, seharusnya pengusaha dan pemerintah mencoba memahami latar belakang mengapa buruh menuntut kenaikan upah yang dianggap tinggi. Buruh adalah juga bagian dari rakyat Indonesia yang termarjinalkan. Sebagian besar rakyat merasakan beban hidup yang semakin berat seiring dengan naiknya harga berbagai bahan pangan, biaya transportasi, dan perumahan.

Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid ini menegaskan, tingginya harga kebutuhan pangan adalah buah dari kebijakan ekonomi khususnya perdagangan yang keliru. Dipertahankannya sistem kuota impor telah melahirkan kelompok-kelompok kartel yang merugikan bangsa dan rakyat Indonesia. Pada saat yang sama, kartel-kartel ini mendikte harga untuk memperoleh keuntungan sangat besar, yang sebagian mereka gunakan untuk menyogok pejabat-pejabat korup.

Rizal Ramli yang juga banyak diaspirasikan sebagai Capres 2014 paling ideal itu mengemukakan, bahwa pihaknya (Kadin) akan melobi pemerintah agar sistem kartel yang hanya menguntungkan segelintir pemain besar dihapuskan. Sebab, sistem inilah salah satunya yang membuat ekonomi masyarakat kita (termasuk buruh) selalu menjadi sulit, sehingga mereka menuntut kenaikan gaji agar dapat menyesuaikan dengan kondisi mahalnya harga-harga kebutuhan seperti saat ini.

“Saat ini rakyat kita membayar harga daging sapi, gula, dan kedelai  100 persen lebih mahal dibandingkan harga di pasar internasional. Saya yakin, kalau sistem kartel dihapuskan, harga berbagai bahan pangan itu bisa turun hingga 80 persen,” tegas Rizal Ramli, seperti dikutip rmol.co.
------------
*Sumber: Kompasiana