Jumat, 21 Februari 2014

“Falsafah” Suku Makassar-Bugis dan Jiwa Rizal Ramli

[RR1online]:
RIZAL RAMLI memang lahir di Padang-Pulau Sumatera, tetapi saat menjelang usia tujuh tahun, ia sudah harus diasuh neneknya di Bogor-Jawa Barat karena ketika itu kedua orangtuanya telah berpulang ke Sang Maha Pencipta. Sehingga di saat itulah ia menjadi “orang Jawa”. Yakni makan, minum, tidur, dan bermain serta bersekolah di SD, SMP, dan SMA di Bogor. Lalu dilanjutkan kuliah di ITB.

Sebagai bocah yatim-piatu yang bukan berasal dari kalangan keluarga konglomerat, Rizal Ramli tentu tak bisa menikmati hidup dengan senang, tetapi bukan berarti ia harus pasrah menerima hidup melarat hingga berkarat. Tidak seperti itu!

Artinya, Rizal Ramli sudah sangat menyadari bahwa tak ada warisan berlimpah berupa harta dan benda yang ditinggalkan oleh kedua orangtuanya kecuali sebuah “ajaran dasar”, yakni: tangguh dan tegar berjuang hadapi hidup hingga bermanfaat bagi banyak orang.

Dengan hanya “mengantongi” sepenggal ajaran dasar dari kedua orangtuanya itulah, Rizal Ramli pun mau tak mau sudah harus bisa memulai hidupnya dengan penuh ketegaran dalam kemandirian. Termasuk di saat sedang bersedih, ia harus bisa mengusap kepedihan dan menghapus air matanya sendiri dengan tegar.

Dari situ, bocah Rizal Ramli pun bisa tumbuh secara alami dalam “tempaan alam”, hingga kemudian mampu memiliki kematangan pola pikir serta nyali yang cukup tinggi dalam bertindak. Salah satunya terlihat ketika menjadi aktivis mahasiswa, yakni bagai Bima sang ksatria, ia dengan nyali yang sangat tinggi melangkah maju di baris terdepan melawan Rezim Korup Orde Baru (Orba).

Meski akibat dari keberaniannya itu ia harus dijebloskan selama hampir dua tahun ke dalam penjara di Sukamiskin-Bandung, namun setidaknya sejarah telah mencatat bahwa Rizal Ramli ketika itu telah berhasil menancapkan diri sebagai sosok pejuang pro-rakyat.

Seiring waktu berjalan, dengan kehidupan yang harus lebih banyak dilalui dalam kepedihan, kesedihan dan penderitaan, Rizal Ramli nyatanya mampu menjadi seorang Doktor Ekonomi (lulusan Boston University-Amerika Serikat).

Dan berkat ketegarannya berjuang yang pantang menyerah, Rizal Ramli pun akhirnya berhasil “tembus” masuk dalam Pemerintahan Presiden Gus Dur, yakni berturut-turut sebagai: Kepala Bulog, Menko Perekonomian, Menteri Keuangan. Lalu terakhir ia “dipecat” dari jabatannya sebagai Komisaris Utama di PT Semen Gresik dengan sebuah alasan yang amat “dangkal” oleh Pemerintahan SBY, yakni lantaran berani berpihak ke rakyat melakukan unjuk-rasa dengan menentang keras kenaikan harga BBM, tahun 2008 silam.

Kendati begitu, ketegaran dan keberaniannya berjuang untuk kepentingan rakyat hingga kini tak pernah surut. “Kualleangi tallanga natoalia. Sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai!” teriak Rizal Ramli di atas podium saat tampil pada acara Debat-Publik sebagai salah satu kandidat Capres 2014 Konvensi Rakyat, di Ballroom Graha Pena, Makassar, Sulawesi Selatan (Minggu, 16/2).

Sungguh, ungkapan yang diteriakkan oleh Rizal Ramli tersebut sangatlah mencerminkan kemurnian dari jiwanya sendiri. Artinya, jiwa yang dimiliki oleh Rizal Ramli selama ini sesungguhnya sangat relevan dengan motto/semboyan yang “dianut” oleh Suku Makassar-Bugis tersebut, yakni: ”Sekali Layar Terkembang, Pantang Biduk Surut ke Pantai”.

Semboyan tersebut sebetulnya adalah sebuah penggalan Syair Sinrili’. Sinrili’ adalah salah satu bentuk kesenian lokal Suku Makassar yang tergolong dalam seni sastra bersenandung tutur diiringi petikan kecapi. Penggalan syair yang dijadikan motto tersebut adalah: “Takunjunga’ bangung turu’.. Nakugunciri’ gulingku.. Kuallengi Tallanga Natoalia”, yang artinya: “Layarku telah kukembangkang.. kemudiku telah kupasang.. aku memilih tenggelam dari pada melangkah surut”.

Semboyan itu melambangkan betapa masyarakat Suku Makassar-Bugis memiliki tekad dan keberanian yang tinggi dalam mengarungi kehidupan ini, sekaligus menunjukan semangat kepribadian yang pantang mundur untuk tetap maju menuju kebenaran meski nyawa harus menjadi taruhannya. Dan semboyan inilah yang sangat persis sama dengan jiwa yang dimiliki oleh Rizal Ramli.

Sebetulnya, semboyan itu adalah hasil penggalian dari “falsafah” Suku Makassar-Bugis, yakni: “Siri’ Na Pacce”. Siri’ adalah rasa malu dari sesuatu yang tabu; sedang Pacce adalah pedih yang mengajarkan untuk mengutamakan rasa kesetiakawanan dan kepedulian sosial daripada kepentingan diri sendiri. Dan istilah Pacce inilah yang juga sudah berhasil diperlihatkan oleh Rizal Ramli. Yakni ia lebih memilih untuk mengorbankan dirinya dengan dipenjara (juga rela dipecat) asalkan bisa memperjuangkan kepentingan orang banyak.

Suku Makassar-Bugis berpandangan, bahwa jika Siri’ Na Pacce tidak dimiliki oleh seseorang, maka prilaku seseorang tersebut dapat melebihi tingkah laku binatang, tidak memiliki rasa malu, harga diri, dan kepedulian sosial. Seseorang itu juga hanya ingin menang sendiri dan lebih senang mengikuti hawa nafsunya.

Istilah Siri’ Na Pacce sebagai sistem nilai budaya sangat abstrak dan sulit didefenisikan, karena Siri’ Na Pacce hanya bisa dirasakan oleh penganut budaya itu. Namun nilai filosofis dari Siri’ Na Pacce adalah merupakan gambaran dan pandangan hidup yang dapat menggerakkan dan menjadikan orang bisa tampil sebagai sosok yang reaktif, pelindung, militan, konsisten, optimis, loyal, bernyali kuat, dan berjiwa konstruktif nan cerdas.

Sehingga itu, sebetulnya rakyat Indonesia saat ini sangat membutuhkan lahirnya sosok pemimpin yang memiliki jiwa dan karakter yang mencerminkan Siri’ Na Pacce. Jika tidak, maka harga diri dan kedaulatan Indonesia akan selalu diinjak-injak oleh negara luar.

Dan jika menelusuri rekam-jejak (mulai nol kilometer) semua figur yang kini disebut-sebut ingin maju sebagai Capres, maka tak berlebihan jika disebutkan, bahwa hanya ada satu figur yang sejak dulu senantiasa bertindak atas dasar Siri’ Na Pacce hingga kini, yakni Rizal Ramli.
Ewako Karaeng... Ewako Puang...!!!

SALAM PERUBAHAN 2014...!!!

--------------

Sumber: KOMPASIANA

Kamis, 13 Februari 2014

“Rumah” Dari RR (Dari Rakyat untuk Rakyat)

[RR1online]:
LAGI, setelah sukses me-launching Rumah Cerdas, Januari 2014 lalu, di Gunungkidul-Yogyakarta yang kini telah ramai dikunjungi oleh pelajar setempat, DR. Rizal Ramli kali ini kembali membuka Rumah UKM (Usaha Kreatif Masyarakat) di Desa Gondosuli, Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar-Jawa Tengah, pada Rabu (12 Februari 2014).

Tentu saja Rumah UKM tersebut bertujuan adalah di antaranya selain sebagai tempat bertemunya para pelaku UKM dalam memunculkan ide-ide kreatif usaha, juga diutamakan sebagai tempat menampung dan memasarkan hasil produksi industri rumah-tangga yang memang banyak digeluti oleh Warga Tawangmangu-Karanganyar tersebut.

Ketua Panitia Launching Rumah UKM,  Bimo Aji Sudarsono mengatakan, rumah ini dimaksudkan sebagai etalase produk usaha masyarakat (home-industry) di sekitar Tawangmangu.

“Kami sudah memetakan potensi setiap desa. Masing-masing memiliki usaha rakyat kreatif, yang mestinya terwadahi dalam sebuah etalase untuk memasarkan produk tersebut kepada masyarakat,” kata Bimo seraya menambahkan, bahwa Rumah UKM ini diprakarsai Forum Karanganyar Mapan yang dirintis oleh Agung Yudi Prasetyo.

Rumah UKM ini diadakan juga adalah untuk memudahkan para wisatawan (mancanegara maupun lokal) yang ingin memperoleh hasil-hasil atau produk industri rumah tangga Karanganyar seperti kerajinan tangan, berupa souvenir, makanan, minuman, dan aneka usaha kreatif lainnya.

Baik Rumah Cerdas maupun Rumah UKM adalah sama-sama diprakarsai oleh masing-masing warga setempat. Dan tentang ditunjuknya Rizal Ramli (RR1) sebagai tokoh sekaligus “icon” di kedua “rumah” tersebut adalah tidak lain karena adanya pertimbangan, bahwa sejauh ini Rizal Ramli memang di mata masyarakat sangat dikenal sebagai satu-satunya tokoh yang selalu tampil terdepan membela kepentingan rakyat sejak dulu tanpa membawa satu nama partai mana pun.

Artinya, RR1 melakukan semua itu tanpa harus ditunjang dan ditopang (pendanaan maupun fasilitas lainnya) dari satu partai politik mana pun. Sehingga apa yang dilakukan oleh Rizal Ramli tersebut di mata masyarakat memang benar-benar lebih bisa dipandang sebagai perjuangan murni dari RR (dari RAKYAT untuk RAKYAT).

Olehnya itu tak heran, sebagian besar rakyat saat ini, termasuk Warga Karanganyar pun menyambut gembira pencapresan Rizal Ramli yang kini sedang digodok oleh Komite Konvensi Rakyat untuk juga dapat maju dalam pilpres 2014.

SALAM PERUBAHAN 2014..!!!!

----------
Sumber: KOMPASIANA

Jumat, 07 Februari 2014

Bencana Di Indonesia: “Somasi” Dari Tuhan Buat Para Pemimpin yang Lalai dan Ingkar

Kategori: Opini*
[RR1online]:
DI penghujung tahun 2013, ada “kesepakatan” antar-elit politik (termasuk pemerintah) di negeri ini yang “sepakat” menunjuk tahun 2014 sebagai tahun politik. Dan ini menunjukkan, bahwa apapun yang dilakukan oleh mereka (pemerintah beserta para elit parpol) di tahun ini tentunya adalah semata untuk  mendapatkan “timbal-balik”.

Artinya, bukan di dasari karena tugas dan kewajiban, melainkan adalah agar dapat meraih simpatik rakyat.
Dan hal ini sekaligus menunjukkan, bahwa di benak mereka ternyata hanyalah dipenuhi dengan ambisi-ambisi untuk memburu dan meraih kekuasaan pada Pemilu 2014.

Sehingga betapa sangatlah menyedihkan dan sungguh tidaklah berperi-kebangsaan jika tahun 2014 ini hanya dihabiskan oleh para elit (pemerintah dan wakil rakyat) untuk saling menonjolkan keangkuhan dan “kejantanannya” di dunia politik, sementara ekonomi rakyat dan negara pada saat ini sungguh masih sangat memalukan kondisinya, yakni mandul.

Harusnya, tahun 2014 bagi pemerintah dan wakil rakyat hendaknya mati-matian dijadikan sebagai tahun penuntasan masalah-masalah pembangunan (terutama mengenai ekonomi rakyat) yang kenyataannya masih dalam kondisi terpuruk. Namun sayangnya, itu tidak dilakukan?!

Padahal tidak sedikit tokoh nasional, aktivis mahasiswa, serta para pegiat LSM yang sejauh ini telah mendesak pemerintah agar dapat fokus menyelesaikan tugas dan kewajibannya yang masih begitu banyak yang belum tuntas. Bahkan sejumlah tokoh nasional, seperti DR. Rizal Ramli acapkali menawarkan dan mengajukan resolusi yang diikuti alternatif pemecahannya, namun tetap tidak diindahkan oleh penguasa, terutama bagi Presiden SBY.

Pemerintah bersama elit parpol (wakil rakyat) selama ini bahkan kelihatannya hanya lebih tertarik dan sangat serius melakukan langkah-langkah penyelamatan kepentingan kelompoknya, keluarga, dan dirinya sendiri. Lihatlah, mereka lebih sibuk mengurus partainya dengan salah satunya melakukan konvensi capres, sibuk beriklan, sibuk membuat buku, sibuk berdebat dan saling menyalahkan, serta sibuk mengumpulkan dana dari berbagai sumber yang tidak jelas untuk kepentingan pemenangan Pemilu.

Padahal di sisi utama, rakyat masih sangat banyak yang membutuhkan sentuhan perbaikan nasib, bahkan telah lama menunggu dan berharap adanya sebuah kemajuan sebelum masa jabatan Presiden SBY berakhir.

Namun lagi-lagi sungguh menyedihkan, harapan dan penantian panjang dari rakyat itu nampaknya tidak akan bisa terwujud hingga memasuki Pemilu 2014. Sebab sekali lagi, Pemerintah dan para elit parpol telah sepakat untuk hanya menghabiskan tahun 2014 ini sebagai tahun politik, bukan tahun untuk menyelesaikan masalah-masalah bangsa dan negara. Dan itu artinya, pemerintah serta para elit parpol tersebut lebih banyak ingkar kepada janjinya sekaligus melanggar sumpah yang telah diucapkannya sendiri, atas nama Tuhan.

Parahnya, presiden yang sangat diharapkan dapat mempersembahkan yang terbaik dengan menuntaskan masalah-masalah negara menjelang akhir jabatannya, malah pada kenyataannya lebih sibuk memunculkan sejumlah masalah baru lagi. Akibatnya, masalah negara yang menjadi kepentingan rakyat pun terbengkalai sudah.

Artinya, bukannya menyelesaikan masalah-masalah negara yang masih begitu banyak yang belum terselesaikan, presiden SBY malah bergegas memunculkan masalah baru lagi yang sama sekali tidak diharapkan atau yang bukan dinanti-nantikan oleh rakyat selama ini, misalnya dengan melakukan somasi ke beberapa warga negara (rakyatnya) sendiri.

Padahal tanpa disadari, sesungguhnya Tuhan lebih dulu telah memberikan “somasi” kepada para pemimpin yang lalai terhadap tugas-tugas serta kewajibannya, karena hanya lebih terlena dan keasyikan mendahulukan kepentingan kelompok, juga untuk dirinya sendiri.

Penguasa yang enggan memaknai bencana yang terjadi saat ini sebagai sebuah peringatan atau teguran keras  dari Tuhan, adalah lebih patut disebut penguasa korup lagi angkuh. Penguasa seperti itu merasa hanya dirinya yang lebih benar, sementara yang lain salah semuanya. Dan, penguasa seperti ini tak jarang berprasangka buruk kepada warganya, bahkan boleh jadi memandang sejumlah warganya sebagai musuh yang harus disingkirkan.

Sehingganya, tak usah heran apabila tuntutan dan keluhan yang telah banyak diwarnai dengan tangisan dan jeritan penderitaan dari rakyat pun lebih banyak tak bermakna apa-apa lagi di hadapan penguasa korup.

Sebab di mata penguasa seperti ini, siapa pun yang mengkritik dengan tajam,  maka itu adalah musuh. Lalu bagaimana apabila Tuhan juga ikut melakukan kritik keras melalui sebuah “somasi” (teguran)  berupa bencana (misalnya banjir) kepada penguasa seperti ini? Apakah Tuhan juga dianggapnya musuh…??? Atau apakah penguasa korup itu memandang bencana adalah sama sekali bukan sebuah peringatan dan teguran…???

Nampaknya, penguasa korup dan angkuh tentu akan membantah keras jika dikatakan bencana yang terjadi seperti saat ini adalah sebagai somasi (peringatan/teguran) langsung dari Tuhan untuk mereka. Sebab, di mata mereka, bencana hanyalah sebuah peristiwa alam yang biasa terjadi karena adanya pengaruh alam dan kondisi cuaca yang berubah secara ekstrem.
Jika hanya memaknai bencana seperti itu, maka itu sama halnya dengan tidak mengakui bencana sebagai sebuah “somasi” (teguran dan peringatan) dariTuhan.

Padahal somasi (teguran dan peringatan) Tuhan berupa bencana dapat kita temui secara jelas dalam al-Quran Surah 27 (an-Naml) ayat 58: “Dan Kami turunkan hujan atas mereka, maka amat buruklah hujan yang ditimpakan atas orang-orang yang diberi peringatan itu.

Lihatlah hujan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah dapat berupa hujan air yang mengakibatkan banjir dan longsor, dan juga hujan debu serta awan panas dari gunung meletus. Dan hujan itulah yang dimaksud sebagai hujan buruk yang ditimpakan atas orang-orang yang diberi peringatan.

Dan inilah beberapa perilaku pemimpin (penguasa) dan juga tingkah rakyat yang bisa mengundang datangnya “somasi” Tuhan di dalam sebuah negeri :

1. Pemimpin yang lalai dan ingkar terhadap janji-janjinya, dan melanggar sumpah yang telah diucapkannya, atas nama Tuhan.

2. Pemimpin lebih cenderung mengutamakan kepentingan kelompok, keluarga dan dirinya sendiri.

3. Pemimpin gemar menggerogoti dan “melahap” uang yang menjadi hak rakyat.

4. Rakyat senang melakukan kegiatan maksiat.

5. Rakyat sering melawan pemimpin berprilaku baik yang jauh dari sikap tercela seperti korupsi dan lain sebagainya.

6. Rakyat mendukung dan memilih seseorang yang tidak pantas menjadi pemimpin hanya karena pengaruh uang serta suku. Juga menjauhi orang-orang yang layak menjadi pemimpin, dan bahkan menghambat sejumlah orang yang pantas untuk tidak menjadi pemimpin.

Semoga dengan memahami makna bencana sebagai sebuah “somasi” (teguran dan peringatan) dari Tuhan dapat membuat kita (terutama pemimpin) untuk dapat segera melakukan yang terbaik buat bangsa dan negara ini.

Namun jika para pemimpin kita tak jua mau menjauh dari semua yang tidak dikehendaki olehNYA, dengan tetap menampakkan keangkuhan sebagai penguasa untuk berbuat zalim, maka inilah firman Allah yang akan terjadi: “…. Kami timpakan kepada mereka azab dari langit disebabkan kezaliman mereka.” (al-A’raaf:162).
-------------
*Sumber: KOMPASIANA

Jumat, 27 Desember 2013

SJSN Hanya Fatamorgana, BPJS Cuma Akan Jadi= “Badan Pengkhianat Jaminan Sosial”

Kategori: Opini*
[RR1online]:
BERMULA dari Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan tentang pentingnya pengembangan Konsep Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Pernyataan Presiden (Alm) Gus Dur itupun kemudian direalisasikan melalui upaya penyusunan konsep (rancangan) tentang Undang-Undang Jaminan Sosial (UU JS) oleh Kantor Menko Kesra (Kep. Menko Kesra dan Taskin No. 25KEP/MENKO/KESRA/VIII/2000, tanggal 3 Agustus 2000, tentang Pembentukan Tim Penyempurnaan Sistem Jaminan Sosial Nasional).

Sejalan dengan pernyataan Presiden ke 4 Indonesia tersebut, DPA-RI melalui Pertimbangan DPA RI No. 30/DPA/2000, tanggal 11 Oktober 2000, menyatakan perlu segera dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat sejahtera.

Dalam Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001 (Ketetapan MPR RI No. X/MPR-RI Tahun 2001 butir 5.E.2) dihasilkan Putusan Pembahasan MPR-RI yang menugaskan Presiden RI “Membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang lebih menyeluruh dan terpadu”.

Pada 2001, Wapres Megawati Soekarnoputri mengarahkan Sekretarisnya untuk membentuk Kelompok Kerja Sistem Jaminan Sosial Nasional (Pokja SJSN - Kepseswapres, No. 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001 jo. Kepseswapres, No. 8 Tahun 2001, 11 Juli 2001) yang diketuai Prof. Dr. Yaumil C. Agoes Achir dan pada Desember 2001 telah menghasilkan naskah awal dari Naskah Akademik (NA) SJSN.

Kemudian pada perkembangannya Presiden RI yang pada saat itu Megawati Soekarnoputri meningkatkan status Pokja SJSN menjadi Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (Tim SJSN-Keppres No. 20 Tahun 2002, 10 April 2002).

“NA SJSN merupakan langkah awal dirintisnya penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) SJSN. Setelah mengalami perubahan dan penyempurnaan hingga 8 (delapan) kali, dihasilkan sebuah naskah terakhir NA SJSN pada tanggal 26 Januari 2004. NA SJSN selanjutnya dituangkan dalam RUU SJSN,” ujar Sulastomo, salah satu TIM Penyusun UU SJSN pada saat itu.

Konsep pertama RUU SJSN, 9 Februari 2003, hingga Konsep terakhir RUU SJSN, 14 Januari 2004, yang diserahkan oleh Tim SJSN kepada Pemerintah, telah mengalami 52 (lima puluh dua) kali perubahan dan penyempurnaan. Kemudian setelah dilakukan reformulasi beberapa pasal pada Konsep terakhir RUU SJSN tersebut, Pemerintah menyerahkan RUU SJSN kepada DPR-RI pada tanggal 26 Januari 2004.

Selama pembahasan Tim Pemerintah dengan Pansus RUU SJSN DPR-RI hingga diterbitkannya UU SJSN telah mengalami 3 (tiga) kali perubahan. Sehingga dalam perjalanannya, Konsep RUU SJSN hingga diterbitkan menjadi UU SJSN telah mengalami perubahan dan penyempurnaan sebanyak 56 kali. Hingga Presiden Megawati pun akhirnya mensahkan UU No. 40/2004 tentang SJSN di detik-detik akhir jabatannya, yakni pada 19 Oktober 2004.

Dan ketika itu, rakyat tentu saja terasa akan menemukan “mata air di gurun”. Sekaligus dengan UU SJSN ini diyakini akan menghapus pandangan miring mata dunia selama ini kepada Indonesia sebagai ”negara tanpa jaminan sosial”.

Sejak disahkan dan diundangkan UU SJSN telah melalui proses yang panjang, dari tahun 2000 hingga tanggal 19 Oktober 2004. Dengan demikian proses penyusunan UU SJSN memakan waktu 3 (tiga) tahun 7 (tujuh) bulan dan 17 (tujuh belas) hari sejak Kepseswapres No. 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001.

Namun apakah “nyawa” UU SJSN ini sudah langsung dapat menghidupi dan memberi jaminan sosial kepada rakyat..???

BELUMM….!!!! Sebab, sekitar 3 bulan perjalanan penguasa baru (Pemerintahan SBY) atau pada Januari 2005, UU SJSN kembali terusik. Sebab kebijakan ASKESKIN (Asuransi Kesehatan Keluarga Miskin) mengantar beberapa daerah ke MK untuk menguji UU SJSN terhadap UUD Negara RI Tahun 1945. Penetapan 4 BUMN sebagai BPJS dipahami sebagai monopoli dan menutup kesempatan daerah untuk menyelenggarakan jaminan sosial.

Selanjutnya, pada 31 Agustus 2005, MK menganulir 4 ayat dalam Pasal 5 yang mengatur penetapan 4 BUMN tersebut dan memberi peluang bagi daerah untuk membentuk BPJS Daerah (BPJSD).

Putusan MK dinilai makin memperumit penyelenggaraan jaminan sosial di masa transisi. Pembangunan kelembagaan SJSN yang semula diatur dalam satu paket peraturan dalam UU SJSN, kini harus diatur dengan UU BPJS. Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) pun akhirnya baru terbentuk. Pemerintah secara resmi membentuk DJSN lewat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 110 tahun 2008 tentang pengangkatan anggota DJSN tertanggal 24 September 2008.

Pembahasan RUU BPJS berjalan alot. Namun dua Pembantu Presiden yang telah membentuk Tim Kerja, yakni Menko Kesra Meneg BUMN tidak menghasilkan titik temu. RUU BPJS tidak selesai dirumuskan hingga tenggat peralihan UU SJSN pada 19 Oktober 2009 terlewati.

Perhatian pun tertumpah pada RUU BPJS sehingga perintah dari 21 pasal yang mendelegasikan peraturan pelaksanaan terabaikan. Hasilnya, penyelenggaraan jaminan sosial Indonesia gagal menaati semua ketentuan UU SJSN yaitu 5 tahun.

Tahun berganti, namun “air di gurun” itu tak kunjung terlihat. Kondisi ini kemudian memaksa para tokoh pejuang sosial seperti DR. Rizal Ramli, Rieke Diah Pitaloka, Prof. Hasbullah Thabrany, Mudasir dan lainnya bersama kalangan buruh dan sejumlah aktivis LSM mendesak dengan melakukan aksi demo berkali-kali. Bahkan Ketua Umum KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia) Ir. Said Iqbal begitu sangat militan menggerakkan para Buruh tanpa lelah di lapangan mendesak pemerintah agar RUU BPJS segera disahkan demi menjalankan UU SJSN kepada seluruh rakyat Indonesia.

DPR lalu mengambil alih perancangan RUU BPJS pada 2010. Perdebatan konsep BPJS kembali mencuat ke permukaan sejak DPR mengajukan RUU BPJS inisiatif DPR kepada Pemerintah pada Juli 2010. Bahkan zona perdebatan bertambah lebar, selain bentuk badan hukum, Pemerintah dan DPR tarik-menarik menentukan siapa BPJS dan berapa jumlah BPJS. Dikotomi BPJS multi dan BPJS tunggal pun diperdebatkan dengan sengit.

Setelah melalui proses panjang dan melelahkan, puluhan kali rapat yang setidaknya dilakukan tak kurang dari 50 kali pertemuan di tingkat Pansus, Panja, hingga proses formal lainnya. Termasuk di kalangan lingkup empat BUMN penyelenggara program jaminan sosial, yakni PT Jamsostek, PT Taspen, Asabri, dan PT Askes.Yang di dalamnya semuanya terdapat pro dan kontra seputar BPJS. Namun pada 29 Oktober 2011, DPR-RI akhirnya sepakat mengesahkannya menjadi UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS.

Meski bukan sesuatu yang mudah, namun keberadaan BPJS mutlak ada sebagai implementasi dari UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN tersebut, yang sepatutnya telah harus dijalankan sejak 9 Oktober 2009.

Lalu, apakah “nadi” UU SJSN ini sudah dapat berdenyut tanda dimulainya dilaksanakan Jaminan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia..???

LAGI-LAGI BELUMMM…!!!! Sebab, meski BPJS telah diterbitkan dalam sebuah UU formal, jalan terjal nan berkelok di depan ternyata masih harus dilalui. Segunung pekerjaan rumah (PR) masih harus dibenahi demi terpenuhinya hak rakyat atas jaminan sosial.

PR tersebut seperti, Dewan Komisaris dan Direksi PT Askes (Persero) dan PT Jamsostek (Persero) ditekankan oleh UU BPJS untuk menyiapkan berbagai hal yang diperlukan untuk berjalannya proses tranformasi atau perubahan dari Persero menjadi BPJS dengan status badan hukum publik. Perubahan tersebut mencakup struktur, mekanisme kerja dan juga kultur kelembagaan.

Mengubah struktur, mekanisme kerja dan kultur kelembagaan yang lama, yang sudah mengakar dan dirasakan nyaman, sering menjadi kendala bagi penerimaan struktur, mekanisme kerja dan kultur kelembagaan yang baru, meskipun hal tersebut ditentukan dalam Undang-Undang.

Pada Pasal 62 ayat (1) UU BPJS: “PT Jamsostek (Persero) berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan pada tanggal 1 Januari 2014”. Dan BPJS Ketenagakerjaan ini menurut Pasal 64 mulai beroperasi paling lambat tanggal 1 Juli 2015.

Dan dalam waktu dekat ini Pasal 60 ayat (1) akan segera dilaksanakan, yakni: “BPJS Kesehatan mulai beroperasi menyelenggarakan program jaminan kesehatan pada tanggal 1 Januari 2014”

Namun apakah rakyat dengan hati riang gembira akan menyambut pemberlakuan BPJS Kesehatan tanggal 1 Januari 2014 tersebut....????

Heiitt… tunggu dulu..!!! Mari kita tengok, mengapa kemudian banyak kalangan yang menolak SJSN dan BPJS ini?

Pertama UU SJSN dan BPJS ini menurut saya tidak memenuhi unsur dan rasa keadilan bagi seluruh Rakyat Indonesia. Sebab, menjelang BPJS Kesehatan beroperasi dalam menyelenggarakan program jaminan kesehatan tanggal 1 Januari 2014, Presiden SBY pada 16 Desember 2013 ternyata telah menandatangai dua Perpres. Yakni Perpres No.105 Tahun 2013 dan Perpres No.106 Tahun 2013.

Perpres No.105 Tahun 2013, SBY sebagai presiden menetapkan dan memutuskan untuk memberikan pelayanan kesehatan paripurna (lengkap dan penuh) melalui mekanisme asuransi kesehatan buat Menteri dan Pejabat Tertentu. Yakni yang disebut Menteri adalah menteri yang memimpin kementerian dan pejabat yang diberi kedudukan atau hak keuangan dan fasilitas setingkat menteri. Sedangkan Pejabat Tertentu adalah pejabat yang memimpin lembaga pemerintah non kementerian, pejabat eselon I, dan pejabat yang diberikan kedudukan atau hak keuangan dan fasilitas setingkat eselon I.

Sedangkan Perpres No. 106/2013 tentang Jaminan Pemeliharaan Kesehatan adalah bagi pimpinan lembaga negara, yang meliputi Ketua, Wakil Ketua dan Anggota DPR-RI; Dewan Perwakilan Daerah (DPD); Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK); Komisi Yudisial (KY); Hakim Mahkamah Konstitusi (MK); dan Hakim Agung Mahkamah Agung.

“Ketua, Wakil Ketua dan Anggota DPR-RI; Dewan Perwakilan Daerah (DPD); Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK); Komisi Yudisial (KY); Hakim Mahkamah Konstitusi (MK); dan Hakim Agung Mahkamah Agung diberikan pelayanan kesehatan paripurna melalui mekanisme asuransi kesehatan, yang merupakan peningkatan manfaat pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan,” bunyi Pasal 2 Perpres No. 106/2013 itu. Seperti dilansir dalam laman setkab.

Perpres tersebut diterbitkan, sebab pemerintah mempertimbangkan risiko dan beban tugas para pejabat negara tersebut untuk perlu mendapatkan sinkronisasi pengaturan penyelenggaraan jaminan pemeliharaan diri.

Dalam Perpres disebutkan para menteri dan pejabat berhak memperoleh pelayanan kesehatan paripurna atau pensiun. Hal ini termasuk pelayanan kesehatan rumah sakit di luar negeri yang dilakukan dengan mekanisme penggantian biaya.

“Pelayanan kesehatan juga diberikan kepada keluarga menteri dan pejabat tertentu, dan keluarga ketua, wakil ketua dan anggota DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksaan Keuangan, Komisi Yudisial, Hakim Mahkamah Konstitusi, dan Hakim Agung,” demikian bunyi perpres yang dirilis laman resmi Sekretariat Kabinet RI, Senin (23/12).

Anggaran penyelenggaraan pelayanan kesehatan paripurna bagi para pejabat tersebut akan dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Adapun, untuk pejabat daerah di bebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).

Woww…sungguh amat senang tiada tara jadi pejabat negara!?! Gaji dan penghasilannya sudah tinggi malah di-plus..plus..plus dan plus lagi dengan fulus negara yang seharusnya masih bisa dibiayai sendiri oleh para pejabat tersebut. Padahal, sejauh ini mereka disumpah untuk lebih mengutamakan kepentingan rakyat, tapi kenyataannya justru seakan lebih mendahulukan kepentingannya sendiri.

Sementara itu, perusahaan asuransi yang memenangi tender jaminan kesehatan untuk pejabat tinggi adalah PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo). Masa pertanggungan berlaku selama 1 tahun, dimulai sejak 1 Januari 2014.

Dihubungi terpisah, Direktur Operasi Ritel Jasindo Sahata L. Tobing, dilansir bisnisindonesia, mengatakan nilai premi yang didapat adalah sebesar Rp112 miliar untuk sekitar 5.500 pejabat. Nilai premi per orang rata-rata mencapai Rp20 juta pertahun.

Alasan kedua, mengapa SJSN dan BPJS merasa patut ditolak adalah karena adanya pembebanan iuran. Koordinator Lapangan Aksi Serikat Pekerja Nasional, Asep Saefuloh, seperti dilansir Poskota, menilai SJSN dan BPJS tidak mengatur prinsip-prinsip jaminan sosial, akan tetapi lebih berorientasi pada kepentingan bisnis semata. Buktinya, dalam UU No 40 tahun 2004 tentang SJSN, pasal 17 menegaskan setiap peserta wajib membayar iuran. “Artinya di sini rakyat dimandirikan dan negara melepaskan tanggung jawab untuk memberikan jaminan sosial kepada rakyat. Rakyat disuruh membayar iuran, nah tanggung jawab negara di mana?,” tuturnya.

Dan saat ini, Pemerintah telah menyepakati besaran iuran premi kepesertaan BPJS Kesehatan pekerja informal, yaitu Rp25.500 per bulan untuk layanan rawat inap kelas III, Rp42.500 untuk kelas II dan Rp59.500 untuk kelas I. Seperti dikutip metrotvnews.

Celakanya, rakyat sebagai peserta BPJS Kesehatan apabila tidak membayar iuran akan dikenakan sanksi (hukuman). Yakni Pasal 11 UU BPJS: ”Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, BPJS berwenang untuk”: huruf (f): “mengenakan sanksi administratif kepada Peserta atau Pemberi Kerja yang tidak memenuhi kewajibannya;” serta huruf (g): “melaporkan Pemberi Kerja kepada instansi yang berwenang mengenai ketidakpatuhannya dalam membayar Iuran atau dalam memenuhi kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;..”

Selanjutnya Pasal 16 ayat (1) UU BPJS: “Setiap orang, selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan penerima Bantuan Iuran, yang memenuhi persyaratan kepesertaan dalam program Jaminan Sosial wajib mendaftarkan dirinya dan anggota keluarganya sebagai Peserta kepada BPJS, sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti.”

Pasal 17 ayat (1) UU BPJS: “Pemberi Kerja selain penyelenggara negara yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dan setiap orang yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dikenai sanksi administratif.” Kemudian ayat (2): “Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. teguran tertulis; b. denda; dan/atau c. tidak mendapat pelayanan publik tertentu.”

Coba simak Pasal ada 19 ayat (1) UU BPJS: “Pemberi Kerja wajib memungut Iuran yang menjadi beban Peserta dari Pekerjanya dan menyetorkannya kepada BPJS.” Dan ayat (2): “Pemberi Kerja wajib membayar dan menyetor Iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS.”

Pasal 19 ayat 1 dan 2 di atas adalah boleh dikata sebagai pasal “PEMAKSAAN DAN PENCENGKERAMAN”, karena diikuti dengan KETENTUAN PIDANA. Yakni Pasal 55: “Pemberi Kerja yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Mengetahui adanya KEWAJIBAN besaran iuran seperti itu, tentu saja istilah “Jaminan Sosial” tidak terpenuhi, bahkan boleh dikata yang ada hanyalah PENINDASAN dan PENGKHIANATAN terhadap rakyat. Sebab, harusnya UU “Jaminan Sosial” disusun dan diterbitkan untuk supaya TIDAK MENAMBAH KESUSAHAN RAKYAT.

Olehnya itu, UU SJSN dan BPJS ini patut diduga istilah: “Jaminan Sosial” hanya sebagai kedok pemerintahan SBY untuk bisa lebih leluasa menghisap uang rakyat agar kiranya mungkin dapat digunakan dalam Pemilu 2014, dengan mungkin menjadikan BPJS sebagai “penampungnya”. Boleh jadi kan…??? Dan jika ini yang terjadi…maka BPJS boleh jadi juga = (sama dengan) Badan Pembantu Jaring Suara (pada Pemilu).

Sehingga itu SJSN ini ibarat hanya sebagai fatamorgana, dan BPJS cuma seakan sama dengan (=) Badan Pengkhianat Jaminan Sosial.

Jika begitu, maka lebih baik rakyat menggunakan uang mereka untuk keperluan yang lebih mendesak, misalnya beli tempe, bayar rekening PLN, PAM, bayar cicilan motor, atau bahkan lebih baik ditabung sendiri untuk diputar sebagai modal usaha kecil-kecilan, daripada harus disetor ke BPJS (yang nota bene bukan lagi BUMN) yang boleh jadi pada akhirnya hanya menjadi ladang korupsi bagi para koruptor.

“Dulu pada nggak setuju (mengulur-ulur waktu). Begitu jadi Undang-undang, (malah) ditunggangi pejabat (untuk kepentingannya). Sadis..!!??!!” ujar Rizal Ramli kepada penulis via BlackBerry Massenger, Kamis (26/12/2013).

Kasihan negeri ini. Apa iya pemerintah yang sedang berkuasa saat ini dipikirannya cuma selalu ingin membodoh-bodohi dan mengkhianati rakyatnya…????
-----------

*Sumber: Kompasiana

Selasa, 17 Desember 2013

Mendukung Gerakan Perubahan Rizal Ramli Lebih Mencerdaskan




DEMI
menarik simpati rakyat, semua figur dari kalangan parpol yang akan maju melangkah sebagai calon presiden (capres) 2014 saat ini sudah mulai berlomba-lomba menyuarakan kata “Perubahan”. Mereka tahu, bahwa rakyat kita saat ini sangat butuh dengan “Perubahan”.

Tapi tahukan, makna di balik “perubahan” seperti apa yang dikehendaki oleh para figur yang berada di lingkaran parpol…??? Ya, bagi mereka, perubahan = merebut dan meraih/mempertahankan kekuasaan (titik)!?!

Kalau bukan karena hanya untuk merebut dan meraih atau mempertahankan kekuasaan, maka arti “perubahan” apalagi yang dimaksud oleh para figur parpol tersebut..??? Bukankah sejauh ini mereka dan parpolnya sudah mendapat posisi legislatif (di DPR/DPRD) dan juga sebagai eksekutif (di kabinet)..??? dan bahkan di antaranya ada yang mengisi posisi di lembaga yudikatif…??? Atau jangan-jangan sudah ada dari kalangan parpol yang mengisi salah satu posisi di lembaga superbody-KPK..???

Jika demikian, maka seharusnya mereka sudah bisa melakukan perubahan dan perbaikan secara mudah untuk kemajuan bangsa dan negara ini sejak dulu..!!! Tapi kenyataannya, betapa sangat disayangkan kondisi saat ini justru makin parah dan sangat jauh dari yang diharapkan rakyat.

Saat ini mereka malah hanya berlomba-lomba memajang tampan dan menyuarakan “perubahan”, melalui iklan di media cetak dan elektronik, memasang baliho, dan lain sebagainya. Padahal mereka saat ini masih punya kesempatan melakukan perubahan, yaitu dengan melalui posisi dan jabatan yang masih diembannya. Lalu, mengapa mereka kini justru lebih memilih fokus melakukan pencitraan daripada menunaikan amanah yang sudah diberikan oleh rakyat..???

Sungguh semuanya sangatlah mudah dijawab. Yakni sekali lagi, bahwa kata “perubahan” yang mereka suarakan saat ini adalah hanya sebuah pencitraan untuk merebut dan meraih/mempertahankan kekuasaan (titik)!?!

Singkat kata, “perubahan” yang kini giat disuarakan oleh para figur parpol tersebut tak lain karena hanya lebih banyak didorong oleh panggilan “tugas dan kewajiban” sebagai kader parpol, yakni agar mereka dan parpol mereka bisa berjaya dalam Pemilu 2014. Bohong kalau tidak..?!!

Sehingga itu, lontaran “perubahan” dari para figur parpol itu sesungguhnya hanyalah sebatas ungkapan yang justru menunjukkan ambisi besar untuk memperoleh kekuasaan besar pula. Parpol adalah sebagai wadahnya, dan uang adalah alat untuk memenangkan persaingan melawan parpol lainnya, yaitu melalui “jual-beli” suara dari rakyat.

Jika parpol dan uang sudah saling mendukung secara maksimal, maka “perubahan” akan mudah diraih, yakni “perubahan” dalam bentuk kekuasaan yang tidak lain untuk kepentingan kelompoknya saja. Dan beginilah realita dari pertunjukan demokrasi kita selama ini..!

Sangat aneh dan lucu rasanya jika seseorang elit yang diketahui parpolnya masih berada dalam lingkaran (koalisi) kekuasaan saat ini, tiba-tiba memunculkan diri bagai pahlawan lalu bersuara dengan lantang menyerukan “perubahan”…?!!? Sungguh, kondisi seperti ini tidaklah mencerdaskan rakyat yang benar-benar mengharapkan perubahan mendasar dalam berbangsa dan bernegara.

Kalau memang menginginkan perubahan yang sebenarnya, maka lakukanlah secara totalitas selagi masih memiliki kekuasaan…!!! Atau perjuangkan dan gerakkanlah perubahan itu sejak awal sebagaimana yang dikehendaki oleh rakyat…!!!

Bicara mengenai “Perubahan”, maka DR.Rizal Ramli adalah sosok yang sesungguhnya paling pantas disebut sebagai “Pejuang Pergerakan Perubahan” sejati. Artinya, dibanding dengan ajakan “Perubahan” yang dilontarkan oleh figur parpol, maka seruan perubahan dari Rizal Ramli lebih sangat mencerdaskan dan tidak diragukan lagi kemurniannya.

Sebab, seruan “Perubahan” itu tidak hanya dikumandangkan Rizal Ramli pada saat ini saja, atau ketika mendekati pemilu, tetapi sudah diperjuangkannya sejak dahulu kala. Yakni dimulai ketika Rizal Ramli masih sebagai aktivis mahasiswa ITB 1977-1978 dengan melalui berbagai pergerakan dan aksi menuntut adanya “Perubahan”. Artinya, Rizal Ramli telah memperjuangkannya selama hampir 40 tahun.

Yakni bermula ketika Rizal Ramli sebagai mahasiswa ITB, bersama temannya, Adi, berkeliling Pulau Jawa menggunakan sepeda motor, menumpang kereta api dan truk. Layaknya kisah Che Guevara yang sebelum menjadi revolusioner di Kuba, sempat juga mengelilingi Amerika Latin dengan sepeda motor bersama Alberto Granado.

Dari pengembaraannya itu, Rizal Ramli tentunya bisa menyaksikan langsung kondisi ketimpangan sosial-ekonomi yang memprihatinkan dan amat suram di kalangan rakyat Indonesia. Dari situlah, jiwa perjuangannya bergelora dan bertekad untuk tampil menjadi memimpin di negerinya, yakni dengan memperjuangkan lahirnya PERUBAHAN sebagaimana yang diharapkan oleh rakyat.

Meski kehidupannya juga terbilang sangat sulit karena sebagai yatim-piatu yang masih aktif kuliah, Rizal Ramli tentunya mau tak mau harus bisa menambal hidupnya dengan kerja keras. Sempat jadi mandor percetakan, kuli pasar, hingga mengajar kursus Bahasa Inggris.

Semangat untuk melakukan perubahan begitu sangat tinggi. Rizal Ramli bersama para rekan sejawatnya, di antaranya Abdulrachim, Indro Tjahyono, dan lainnya pun mengadakan suatu gerakan politik besar yang dinamai “GERAKAN ANTI KEBODOHAN pada 1976. Gerakan inilah yang berlanjut menjadi Konsolidasi Dewan Mahasiswa pada 1977 yang diwarnai dengan aksi sepenuhnya pro-rakyat hingga 1978 secara signifikan melawan segala bentuk kebijakan rezim Orde-Baru (Orba) yang dinilai sangat korup.

Tak hanya lewat aksi yang kerap digelar, Rizal Ramli bersama para aktivis lainnya pun sempat menulis dan mengetik “Buku Putih Perjuangan Mahasiswa” 1977-1978 yang berhasil diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman, Rusia, China dan belasan bahasa negara lainnya.

Buku tersebut merupakan sebuah seruan besar kepada negara untuk mengganti haluan ekonomi politiknya dan segera membersihkan diri dari korupsi yang berlebihan. Rizal Ramli adalah salah satu pimpinan gerakan PERUBAHAN tersebut, 35 tahun yang lalu. Ke mana ketika itu para figur parpol yang kini ngotot ikut Pilpres dan merasa lebih pantas menjadi capres saat ini…????

Akibat dari perjuangannya yang begitu gigih, Rizal Ramli dan sejumlah kawannya pun dijebloskan ke dalam bui. Sebab, aksi dan seruan Rizal Ramli bersama aktivis lainnya dalam memperjuangkan lahirnya “Perubahan” sosial-ekonomi-politik secara menyeluruh dinilai telah menyakiti penguasa Orba.

Namun dengan di penjara, tidaklah membuat perjuangan Rizal Ramli jadi terputus. Selepas dari penjara di Sukamiskin-Bandung, ia membenahi diri. Hingga kemudian berkat niat serta cita-cita perjuangannya yang tulus dan mulia itu, Tuhan pun memberinya jalan kemudahan. Yakni berhasil mendapatkan bea-siswa di Ford-Foundation studi di University Boston-AS hingga meraih gelar Doktor Ekonomi.

Babak baru perjuangannya pun ia lanjutkan. Yakni berkiprah di dunia bisnis konsultan. Pernah menjadi penasehat fraksi ABRI di MPR tahun 1990-an, dan pengajar SESKOAD. Di sanalah Rizal Ramli mulai berkenalan dengan para perwira tinggi (termasuk SBY) dan sejumlah Jenderal lainnya. Dan momen seperti itu membuat jiwa Rizal Ramli kembali termotivasi untuk segera melakukan gerakan PERUBAHAN dalam sistem Orde Baru. Yakni dengan menurunkan Suharto lalu mengganti sistem ekonomi politiknya.

Tahun 1998, bersama para mahasiwa berbagai spektrum yang bergerak di kalangan rakyat, Suharto pun akhirnya tumbang setelah selama 32 tahun penuh berkuasa. Dan tentu saja ada kisah yang tak sempat tercatat dalam sejarah pergerakan Rizal Ramli, di antaranya adalah mengenai luka darah dan nanah akibat penyiksaan, penderitaan, kepahitan, perut keroncongan, dikejar-kejar dalam hujan dan panas, serta tentang kerinduan; merindukan belaian kasih sayang orang-tua yang menyatu dengan kerinduan untuk mempersembahkan yang terbaik untuk negeri ini.

Suharto lengser , wakilnya BJ Habibie naik sebagai Presiden. Tak lama, Presiden Habibie menawari Rizal Ramli menjadi menteri, tapi ia tolak, takut dinilai ia berjuang hanya untuk mendapat jabatan. Hingga kepada Presiden Gus Dur menawari menjadi Dubes, lagi-lagi Rizal Ramli menolaknya karena alasan lebih tertarik berjuang di dalam negeri sendiri. Tak hanya sampai di situ, Gus Dur kemudian menawarkan ke BPK, namun kembali Rizal Ramli menolaknya.

Gus Dur kemudian “menodongnya” menjadi Kepala Bulog, Rizal Ramli akhirnya sulit menolak untuk kesekian kalinya. Setelah sukses memimpin Bulog, Rizal Ramli kemudian diangkat menjadi menteri oleh Gus Dur untuk melakukan PERUBAHAN yg memang diidamkannya sejak lama. Sayangnya, era Presiden Gus Dur termasuk sangat singkat seiring dengan gesekan politik yang amat memanas, sehingga upaya perjuangan Perubahan Rizal Ramli pun terputus di pemerintahan.

Namun meski sangat singkat, toh Rizal Ramli masih sempat berbuat banyak dari sebagai Kabulog, Menteri Koordinator Perekonomian, lalu Menteri Keuangan, dan terakhir Pemerintahan SBY sempat menggunakan jasa Rizal Ramli dalam menaikkan revenue BUMN Semen nasional sebagai Komisaris Utama PT. Semen Gresik (Sekarang PT. Semen Indonesia) pada 2006-2008.

Tetapi lantaran berbeda pandangan mengenai pencabutan subsidi BBM, Rizal Ramli pun berpisah dengan SBY hingga kini. Dan mulai sejak itu, Rizal Ramli dengan sangat jelas melihat ketidak-beresan pemerintahan SBY yang hanya dominan lebih ingin menguntung kelompoknya saja daripada kesejahteraan rakyat.

Sehingga itu, Rizal Ramli ikhlas dicopot dari jabatannya sebagai taruhan dalam memperjuangkan nasib rakyat Indonesia. Yakni dengan secara tegas ia menolak kebijakan kenaikan harga BBM dan menuntut harga-harga kebutuhan pangan rakyat segera diturunkan.

Kini ia masih menyimpan mimpi juga energi untuk terus melakukan PERUBAHAN, sehingga lucu saja rasanya jika sekarang sudah banyak figur dari parpol yang melontarkan slogan PERUBAHAN ini hanya untuk meraih kekuasaan secara instan. Bandingkan dengan seorang Rizal Ramli yang sudah selama hampir 40 tahun telah mengibarkan panji dan seruan PERUBAHAN.

Demikianlah Rizal Ramli yang sejak dulu hingga kini tetap saja konsisten pada perjuangannya dalam mewujudkan PERUBAHAN di negeri ini. Dan jika hari ini begitu banyak figur dengan hebatnya berlomba-lomba bersuara di mana-mana menyerukan sebuah Perubahan, maka perubahan yang dimaksud itu tak lain hanyalah upaya untuk merebut sebuah ambisi besar. Sebab, mereka menyuarakannya dengan memakai baju dan kostum partai politik di saat mendekati Pemilu 2014.

Dan ini sangatlah berbeda jauh dengan pergerakan perjuangan Perubahan yang dilakukan Rizal Ramli yang mampu diperlihatkannya meski tanpa memakai baju parpol tertentu. Sekali lagi Rizal Ramli secara konsisten tetap memperjuangkan dan menyerukan PERUBAHAN meski tanpa melalui partai politik pun.

Dan nilai perjuangan Perubahan yang dilakukan oleh Rizal Ramli inilah sesungguhnya yang lebih mampu mencerdaskan bangsa ketimbang seruan “Perubahan” yang disuarakan oleh para figur lainnya melalui corong partai politik.

Namun untuk selanjut, silakan rakyat sendiri yang merenungkannya: apakah benar-benar rakyat serius ingin melakukan PERUBAHAN…??? Jika ya, maka kualitas perjuangan perubahan Rizal Ramli tak bisa disepelekan sedikit pun…!!! Bangkit dan dukung perjuangan PERUBAHAN yang kini masih sedang dilakukan oleh Rizal Ramli, sekaligus ini sebagai upaya menghindari perpecahan karena politik di antara sesama anak bangsa..!!!

---------
SALAM PERUBAHAN...!!!

Minggu, 15 Desember 2013

Konsistensi, Kekuatan Sekaligus Kelemahan Rizal Ramli

[RR1online]:
SALAHKAH jika orang berambisi ingin berkuasa? Tentu saja tidak! Hasrat untuk berkuasa adalah salah satu fitrah yang dianugrahkan Allah SWT kepada manusia. Keinginan berkuasa tidak beda halnya dengan hasrat manusia atas makan, minum, sex, dan lainnya. Semuanya sah dan boleh-boleh saja.

Yang jadi persoalan, dari semua naluri tadi adalah bagaimana cara pememenuhannya. Adakah rambu-rambu yang ditabrak? Begitu juga dengan kekuasaan, bagaimana cara meraih kekuasaan yang diidamkan itu? Pertanyaan lain yang tidak kalah penting, untuk apa kekuasaan yang (kelak) berada dalam genggamannya itu digunakan? Jika syahwat kekuasaan dipenuhi dengan cara menghalalkan segala cara, maka tentu saja itu salah besar. Begitu juga bila kekuasaan yang dimiliki digunakan untuk memupuk kekayaan diri dan kelompok di satu sisi, lalu abai terhadap rakyat di sisi lain; itu salah sangat besar.

Pada titik ini, amat menarik mencermati perjalanan seorang Rizal Ramli. Lelaki yang dikenal gigih dan konsisten menyuarakan keharusan menerapkan ekonomi konstitusi ini bisa disebut punya pengalaman yang komplet. Dia pernah berada di dalam dan luar lingkaran kekuasaan.

Uniknya, di mana pun berada 
"di dalam atau luar pemerintahan-- dia tetap saja konsisten dengan garis hidupnya. Itu antara lain ditunjukkan dengan sikap kritisnya terhadap International Monetary Fund (IMF), World Bank (WB) dan berbagai lembaga internasional lain yang dikenal sebagai kampiun sekaligus penebar mazhab neolib.

Saat di luar sistem,  Rizal Ramli kerap bersuara lantang menentang sistem ekonomi neoliberal yang dijalankan pemerintah. Perlawanannya terhadap berbagai kebijakan publik yang memiskinan rakyat, sudah dilakukan sejak Pak Harto masih sangat berkuasa. Bahkan pada 1978, bersama teman-temannya di ITB dia menulis Buku Putih yang membuat Penguasa Orde Baru itu gusar. Hasilnya, Rizal muda harus mendekam di penjara Sukamiskin, tempat Seokarno pernah menjadi penghuninya.

Ketika Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menjadi Presiden, pendiri think tank ECONIT itu Ramli sempat masuk dalam pusat kekuasaan. Sejumlah jabatan penting dan strategis ada dalam genggamannya. Kepala Badan Urusan Logisitik (Bulog), Menteri Koordinator Perekonomian, dan akhirnya Menteri Keuangan pernah disandangnya. Sebelumnya, dia pernah menolak tawaran Gus Dur untuk menjadi Ketua Badan Pemerika Keuangan (BPK) dan Duta Besar Indoensia untuk Amerika Serikat. Kendati begitu, lagi-lagi dia tetap saja konsisten dan tidak berubah!

Ganti Aktor

Sejarah sepertinya senantiasa berulang. Ketika penguasa koruptif dan menzalimi rakyat, sekelompok orang memelopori gerakan untuk menumbangkan. Rezim pun berganti. Tapi, ketika mereka duduk di empuknya kursi Kekuasaan, para jagoan tadi mengulangi kesalahan serupa. Revolusi hanya melengserkan diktator lama dan melahirkan diktator baru. Anggur lama dalam botol baru!

Soeharto kembali mengulangi kesalahan Soekarno. Reformasi yang digulirkan 1998, ternyata hanya mengganti para aktor di panggung kekuasaan. Pemberantasan korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) yang menjadi agenda utama reformasi, kini justru tampil dengan lebih massif dan sistematis. Kesejahteraan rakyat kian jauh dari jangakauan, terbang entah ke mana.

Tabiat buruk sebagian besar aktivis itu sepertinya tidak berlaku pada Rizal Ramli. Siapa saja yang rajin menelusuri rekam jejaknya, akan sangat sulit --untuk tidak menyebut mustahil-- menemukan langkah miring tokoh yang diganjar gelar Capres paling ideal oleh The President Centre ini. Selama puluhan tahun, pria yang akrab disapa RR tersebut selalu setia di track yang sama. Menentang penindasan rakyat oleh siapa pun dan atas nama apa pun. Penasehat ekonomi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) ini terus saja menapaki jalan terjal penuh rintangan. Jalan yang membuat Indonesia maju dan rakyatnya sejahtera.

Tentu saja, konsisten adalah sesuatu yang amat berharga. Ia kini menjadi barang langka, di tengah perilaku tak elok yang secara berjamaah dipertontonkan para pejabat publik. Tapi buat Rizal Ramli, sikap konsisten yang menjadi kekuatannya itu, ternyata sekaligus menjadi titik lemah baginya. Paling tidak, begitulah pendapat Jeffrey Winters. Dia tidak bergeser dari prinsipnya untuk berkompromi, kendati hal itu dimaksudkan sekadar keperluan taktis.

Menurut Jeffery, kekuatan RR adalah konsistensi dan keberpihakannya pada rakyat dan kepentingan nasional. Dia juga konsisten melakukan perlawanan terhadap penguasa. Padahal, yang namanya iming-iming bukan tidak pernah disodorkan kepadanya. Pernah, begitu keluar dari penjara Sukamiskin pada 1979, Soeharto mengirim Sekjen Golkar Sarwono Kusumaatmaja untuk menawarkan posisi calon jadi DPR Golkar. Rizal Ramli dan tiga temannya menampik tawaran itu. Ehem… bandingkan bagaimana para aktivis yang pasca reformasi yang kini bertengger di kursi empuk kekuasaan legislatif dan eksekutif.

Harus Bermanfaat

Kembali soal ambisi terhadap jabatan dan kekuasaan, lagi-lagi Ketua Umum Aliansi Rakyat untuk Perubahan (ARUP) ini memang bisa disebut makhluk langka. Dulu, di awal kemenangan kaum reformis setelah menumbangkan Soeharto, dia menepis tawaran Amin Rais dan Arnold Baramuli untuk menjadi menteri BJ Habibie.  Dia juga menampik tawaran SBY untuk menjadi Menteri Perindustrian dan Ketua Dewan Pertimbangan Presiden.


Yang terbaru, Rizal Ramli menolak tawaran dari kepala staf Sekjen PBB untuk memimpin Economic & Social Commission of Asia and Pacific (ESCAP) alias Komisi Sosial Ekonomi Asia Pasifik.

Asal tahu saja, ESCAP bukanlah lembaga ecek-ecek. ESCAP adalah satu dari lima komisi kawasan yang dimiliki Dewan Ekonomi Sosial PBB atau ECOSOC. Didirikan pada 1947, ESCAP kini punya 53 anggota negara dan sembilan anggota asosiasi. Kantor pusat ESCAP di Bangkok, Thailand. Saat ini dipimpin oleh Sekretaris Eksekutif Noeleen Heyzer dari Singapura.

“Saya sangat berterima kasih dan merasa terhormat atas tawaran jabatan yang prestisius itu. Namun, saya menolak karena masalah dan tantangan di Indonesia jauh lebih besar. Diperlukan kesungguhan untuk membuat Indonesia menjadi negara hebat di Asia,” ujar Rizal Ramli yang juga Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.

Pelajaran apa yang bisa kita petik dari penolakan Rizal Ramli terhadap begitu banyak jabatan penting dan bergengsi? Dia tidak gila kekuasaan. Tidak banyak orang di dunia ini, khususnya di Indonesia, yang pernah menolak tawaran jabatan bergengsi. Yang terjadi justru sebaliknya, mereka berlomba-lomba merengkuh jabatan dengan menghalalkan segala cara.

Kendati demikian, bukan berarti RR selalu menampik jabatan yang disorongkan kepadanya. Kadang dia juga mau. Tapi  Rizal Ramli  hanya bersedia menerima jabatan publik jika posisi itu bisa membantunya mengubah Indonesia menjadi lebih baik. Sejarah mencatat dia menjadi Kepala Badan Urusan Logisitik (Bulog), Menteri Koordinator Perekonomian, dan akhirnya Menteri Keuangan. Capres paling reformis versi Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) itu pun pernah menjadi Preskom PT Semen Gresik. Benang merahnya, di mana pun berada dia selalu all out, berkerja keras dan cerdas dengan prestasi jauh di atas rata-rata.

Untuk sepak terjang dan rekam jejak Rizal Ramli, silakan baca Rizal Ramli, Lokomotif Perubahan; Langkah Strategis dan Kebijakan Terobosan. Juga bisa disimak pada judul Rizal Ramli, "Indonesia Makmur dan Digjaya di Asia". Kita juga bisa menyaksikannya melalui audio-visual: 




Inilah perbedaan utama Rizal Ramli dengan nama-nama yang bersliweran di media massa, cetak dan elektronik. Publik dengan mudah dapat menilai kualitas masing-masing individu. Tanpa bermaksud menghakimi yang lainnya, namun konsisten sepertinya sudah menjadi trade mark RR. Dia selalu meninggalkan jejak berupa keberpihakan kepada rakyat dengan jelas dan tegas.

Tapi mungkin layak disimak catatan Jeffrey buat pria yang di kalangan kaum Nahdiyin akrab disapa Gus Romli ini. Konsistensi adalah kekuatan sekaligus kelemahan Rizal Ramli. Hemmm…

---(Edy Mulyadi)
 Penulis adalah Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)

Sabtu, 07 Desember 2013

Termasuk SBY Harusnya Malu Kepada Mandela


[RR1online]:
NELSON Mandela, memang telah tiada. Namun sejarah peradaban telah mencatat dirinya sebagai sosok pejuang dan pemimpin besar, tidak hanya untuk negaranya Afrika Selatan, tetapi juga buat seluruh umat di dunia.

Jiwa keberanian dan perjuangannya telah terbukti begitu sangat mulia. Dan sungguh, Mandela benar-benar telah meninggalkan warisan yang sangat berharga buat kita semua dalam menegakkan perdamaian, rekonsiliasi, dan keadilan di muka bumi ini.

Meski berkat dari perjuangannya itu, Mandela dianugerahi Nobel Perdamaian tahun 1993, disusul setahun kemudian 1994 ia terpilih menjadi Presiden Afrika Selatan, yakni presiden kulit hitam pertama pasca rezim apartheid. Namun Mandela hanya ingin menjabat satu periode. Setelah lima tahun, ia pun menyatakan tak ingin lagi jadi presiden.

Padahal, jika saja Mandela haus kekuasaan dengan momen seperti itu, maka tentu mudah saja bagi Mandela untuk bisa terpilih kembali, atau bahkan menjadi Presiden Afrika Selatan seumur hidup sebagai penghargaan atas perjuangannya tersebut. Tetapi Nelson Mandela tidak memilih untuk mengikuti nafsu kekuasaan itu.

Bagaimana dengan para pemimpin di negara lain? atau bagaimana dengan figur-figur lainnya yang ngotot untuk maju menjadi presiden di sejumlah negara lainnya? Adakah yang meneladani karakter dan perjuangan Nelson Mandela tersebut?

Atau kita persempit saja pertanyaannya: Bagaimana dengan SBY? Adakah SBY sebelum menjadi presiden pernah berjuang seperti yang pernah dilakukan oleh Mandela hingga merasa patut untuk menjadi dan mempertahankan dirinya sebagai penguasa…? Atau bagaimana dengan figur-figur lainnya yang kini sudah pasang dada merasa lebih pantas memimpin negeri ini. Adakah mereka semuanya telah melakukan hal yang mirip dilakukan oleh Mandela???

Maaf… kalau ada yang tersinggung. Semua ini tercetus dalam pikiran saya adalah agar kita bisa menjadi negara dan bangsa yang betul-betul merdeka, maju dan berkembang, maka Mandela harus menjadi perbandingan. Olehnya itu, jika kita mau jujur menggali kata hati masing-masing, maka tentu kita akan menemui jawabannya, bahwa betapa seharusnya para elit di negeri ini merasa malu terhadap sosok Mandela. Bukankah Mandela kini sebagai ikon politik “pejuang rakyat” untuk skala dunia..???

Semoga menjelang Pilpres 2014 ini rakyat Indonesia bisa memilih pemimpin yang benar-benar bisa menyerupai, atau paling tidak mendekati dengan apa yang telah dilakukan oleh Nelson Mandela. Bukan sosok yang haus kekuasaan, apalagi berasal dari kalangan “perampok” uang negara. Dan marilah kita mencari Mandela-nya Indonesia…!!!

Salam Perubahan….!!!!
(map-ams)