Kategori: Opini*
[RR1online]:
SUDAH terlalu panjang sesungguhnya perjalanan bangsa ini berada di jalur kesesatan. Dan sudah terlalu dalam sebenarnya negeri ini tenggelam di lumpur kebodohan. Serta, sudah terlalu banyak sebetulnya peringatan dari Tuhan berupa bencana yang menimpa akibat “ulah” para pemimpin di negeri ini.
Tetapi kita tidak mau sadar, atau mungkin cuma pura-pura tidak tahu, lalu hanya bisa diam dan lebih memilih berkata-kata atau bertanya-tanya di dalam hati: “…bahwa kita sesungguhnya salah memilih presiden..? Keluarga presiden (termasuk besan), kader parpolnya, hingga orang dan kerabat terdekatnya nyaris seluruhnya melakukan KORUPSI. Bahkan anak, istri dan diri presiden pun tak luput disebut-sebut disinyalir telah menggunakan kedudukannya untuk memperkaya diri sendiri, alias korup …”
Kecewaan dan kejengkelan rakyat terhadap presiden selama ini hanya bisa dipendam di dalam hati. Rakyat cuma bisa “memberontak” dan menghujat presiden di dalam hati, mereka lebih banyak tak berani sedikit pun untuk melontarkannya di depan umum. Mereka takut dikatakan melawan konstitusi.
Tetapi di sisi lain, tidak sedikit pejabat negara (“pemegang konstitusi”) malah tega merobek-robek konstitusi itu dengan melakukan kejahatan politik demi mendapatkan kekuasaan. Lalu…masihkah rakyat disebut melawan konstitusi ketika pemimpin yang dilahirkan adalah ternyata pula dari hasil kejahatan konstitusi yang berbau politik…???
Saya ingin katakan dengan tegas, bahwa sesungguhnya negara dan bangsa kita saat ini sangat terasa sedang berada dalam pengaruh “Politik Hitam”, yakni dari partai politik yang sedang berkuasa saat ini. Rizal Ramli menyebutnya, bahwa orang baik bisa salah gaul dan bisa berbuat salah ketika berada di dalam sistem yang kini dijalankan oleh parpol tersebut. Seperti Pepatah Melayu: masuk ke dalam kandang kambing, harus ikut mengembik. Jika tidak, maka siap-siap menjadi “kambing hitam”.
Saya melihat keadilan memang benar-benar tidak terjadi di negeri ini. Ketika Soeharto berhasil dilengser karena dinilai salah satunya sangat “bebas” melahap anggaran negara, tetapi tidak sedikit yang mengakui bahwa pembangunan infrastruktur (fisik) dan psikis masih lebih nampak berjalan baik.
Dan bandingkan dengan sekarang, anggaran negara yang sudah melimpah, ditambah sokongan utang negara yang begitu besar, dan ditambah lagi dengan 1001 investor asing yang sudah menguasai SDA kita dari Sumatera hingga membentang ke Papua, tetapi kondisi rakyat kita malah terasa makin jauh dari kesejahteraan.
Padahal logikanya, dengan APBN yang setiap tahun meningkat itu, maka ekonomi rakyat juga harus ikut membaik. Tetapi sayangnya, wajah pembangunan infrastruktur saat ini boleh dikata masih jauh dari yang diharapkan, kondisi pembangunan psikis juga lebih parah dan amat memprihatinkan.
Yang berkaitan dengan psikis ini bisa dilihat dari rontoknya moral dan akhlak sebagian besar pejabatdan pemimpin di negeri ini. Kasus asusila, seperti “beraksi” dalam video porno, nonton video porno saat sidang, pelecehan seksual dan lain sebagainya. Juga kasus akhlak lainnya, misalnya melakukan korupsi, melalui mark-up, kongkalikong, suap dan lain sejenisnya. Yang kesemuanya sungguh malah menambah rakyat makin sakit hati karena merasa dikhianati dan dibohongi oleh para pejabat (pemimpin) di negeri ini.
Bukan hanya pejabat (pemimpin) yang kini banyak rusak moral dan akhlaknya. Sejauh ini kita juga sudah banyak menyaksikan kebrutalan sejumlah masyarakat, misalnya tawuran pelajar, perkelahian antarwarga, perampokan, pemerkosaan, aksi teroris dan lain sebagainya.
Mengetahui serta menyaksikan semua fenomena dan kondisi buruk tersebut, tentu memaksa banyak pihak untuk kembali bertanya-tanya dalam hati: “…apakah semua itu adalah hasil pembangunan yang telah diukir oleh pemerintah yang berkuasa saat ini..??? Dan mengapa sampai semua itu bisa terjadi…???”
Untuk menjawabnya, saya hanya cukup memunculkan satu sisi yang menjadi unsur substansinya. Bahwa kita semua sepakat, bahwa segala tindak-tanduk dan ucapan pemimpin itu selalu menjadi patokan serta contoh bagi rakyatnya. Jika pemimpin berbuat korup, maka kecenderungannya tentu akan DIIKUTI dan DICONTOHI oleh bahawannya (orang-orang di bawahnya). Sehingga tak keliru kiranya jika Rizal Ramli mempopulerkan istilah, bahwa ikan busuk itu dimulai dari kepalanya, bukan dari ekornya. Coba kalau kepalanya tidak busuk, maka tubuh hingga ekornya pun diyakini tidak akan busuk.
Sebab logika berpikir saya juga mengarah kepada suatu pemahaman, bahwa apa mungkin Nazaruddin, Angelina Sondakh, Andi Mallarangeng, Anas Urbaningrum, Rudi Rubiandini, Akil Mochtar, dan para terduga pelaku korupsi lainnya bisa seberani itu melakukan korupsi…??? Bukankah ibarat seorang anak bisa melakukan sebuah perbuatan karena lebih banyak mendapat contoh dari orangtuanya???
Jangan lupa, kita sudah lama menantikan adanya pemimpin yang Ing Ngarso Sung Tulodo. Yakni seorang pemimpin (presiden) yang mampu memberikan suri teladan yang baik bagi orang-orang di sekitarnya. Tapi, istilah inilah sepertinya yang belum bisa diperlihatkan oleh presiden kita melalui parpolnya itu. Sebab, kita tentu amit-amit dan tidaklah ingin sama sekali mencontoh (meneladani) apa yang sedang “terlihat” di tubuh parpol penguasa saat ini.
Mereka yang telah terjerat dalam kasus tindak pidana korupsi tersebut (termasuk kepala daerah), menurut saya, secara psikologis adalah merupakan “produk” dari “percontohan”, bukan “proses percontohan”. Sebab saya yakin, mereka-mereka tersebut adalah orang-orang yang sangat paham dengan hukum, tetapi di sisi lain mereka (sekali lagi secara psikologis) lebih memilih untuk tunduk pada “atasan”. Mereka bisa “tertarik” untuk pula melakukan sesuatu ketika sesuatu itu dilakukan oleh atasan. Dan mereka juga tidak akan segan-segan melakukan sesuatu hal, meski itu menabrak aturan, karena (secara psikologis) mereka merasa terlindungi oleh “sang atasan” yang mereka ketahui juga berbuat hal serupa.
Mereka yang tertangkap, tersangka maupun terdakwa kasus korupsi saat ini hanya lebih pantas disebut “Korban Percontohon”. Ibarat anak yang terpaksa tertangkap mencuri karena ia tahu ayahnya juga seorang pencuri. Dari sini, kita jangan hanya larut menyalahkan si anak atas perbuatannya tersebut, lalu melupakan dan mungkin pura-pura tidak tahu bahwa sesungguhnya kesalahan itu harus bisa lebih ditimpakan kepada sang ayah yang telah memberikan contoh buruk terhadap anaknya.
Anak yang rajin beribadah dan tidak akan tertarik untuk ikut membantu ayahnya sebagai pencuri hanya lebih banyak terjadi di sinetron. Hmmm…. apakah juga mungkin, seorang presiden berani ditangkap karena korupsi hanya juga terjadi di dalam film…??? Tetapi setidaknya “film” inilah yang sedang sangat dinanti-nantikan penayangannya oleh seluruh rakyat Indonesia…!!!! Namun jika KPK tak berani, maka KPK juga patut diduga hanya sedang bermain film…?!?
Akhirnya, sebagai sesama orang Makassar, kutitipkan pesan untuk khususnya buat Abraham Samad selaku Ketua KPK: “...Paenteng-ki Siri’, Saribbattang. Saba’, Sikali-jaki antu appare kodi ri KPK, maka kodingasemmi antu arenna tau Mangkasara-ka. Jari, ngu’rang-ngu’rangi-ki Saribbattang, erang baji-bajiki kalenta, pabajiki jappanta. InsyaAllah..Karaeng Ata ‘ala nasareantongki kabajikan ri-lino sagang ri-akhera’….”
Artinya: “….Tegakkan rasa malu, Saudara. Sebab, sekali saja berbuat jelek di KPK, maka jeleklah itu semua nama orang Makassar. Jadi, ingat-ingatlah Saudara, pandailah membawa diri, perbaiki langkah. InsyaAllah…Tuhan akan memberikan kepada Anda kebaikan di dunia dan di akhirat….”
Salam Perubahan….!!!!
Salam Perubahan….!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar