Jumat, 21 Februari 2014

“Falsafah” Suku Makassar-Bugis dan Jiwa Rizal Ramli

[RR1online]:
RIZAL RAMLI memang lahir di Padang-Pulau Sumatera, tetapi saat menjelang usia tujuh tahun, ia sudah harus diasuh neneknya di Bogor-Jawa Barat karena ketika itu kedua orangtuanya telah berpulang ke Sang Maha Pencipta. Sehingga di saat itulah ia menjadi “orang Jawa”. Yakni makan, minum, tidur, dan bermain serta bersekolah di SD, SMP, dan SMA di Bogor. Lalu dilanjutkan kuliah di ITB.

Sebagai bocah yatim-piatu yang bukan berasal dari kalangan keluarga konglomerat, Rizal Ramli tentu tak bisa menikmati hidup dengan senang, tetapi bukan berarti ia harus pasrah menerima hidup melarat hingga berkarat. Tidak seperti itu!

Artinya, Rizal Ramli sudah sangat menyadari bahwa tak ada warisan berlimpah berupa harta dan benda yang ditinggalkan oleh kedua orangtuanya kecuali sebuah “ajaran dasar”, yakni: tangguh dan tegar berjuang hadapi hidup hingga bermanfaat bagi banyak orang.

Dengan hanya “mengantongi” sepenggal ajaran dasar dari kedua orangtuanya itulah, Rizal Ramli pun mau tak mau sudah harus bisa memulai hidupnya dengan penuh ketegaran dalam kemandirian. Termasuk di saat sedang bersedih, ia harus bisa mengusap kepedihan dan menghapus air matanya sendiri dengan tegar.

Dari situ, bocah Rizal Ramli pun bisa tumbuh secara alami dalam “tempaan alam”, hingga kemudian mampu memiliki kematangan pola pikir serta nyali yang cukup tinggi dalam bertindak. Salah satunya terlihat ketika menjadi aktivis mahasiswa, yakni bagai Bima sang ksatria, ia dengan nyali yang sangat tinggi melangkah maju di baris terdepan melawan Rezim Korup Orde Baru (Orba).

Meski akibat dari keberaniannya itu ia harus dijebloskan selama hampir dua tahun ke dalam penjara di Sukamiskin-Bandung, namun setidaknya sejarah telah mencatat bahwa Rizal Ramli ketika itu telah berhasil menancapkan diri sebagai sosok pejuang pro-rakyat.

Seiring waktu berjalan, dengan kehidupan yang harus lebih banyak dilalui dalam kepedihan, kesedihan dan penderitaan, Rizal Ramli nyatanya mampu menjadi seorang Doktor Ekonomi (lulusan Boston University-Amerika Serikat).

Dan berkat ketegarannya berjuang yang pantang menyerah, Rizal Ramli pun akhirnya berhasil “tembus” masuk dalam Pemerintahan Presiden Gus Dur, yakni berturut-turut sebagai: Kepala Bulog, Menko Perekonomian, Menteri Keuangan. Lalu terakhir ia “dipecat” dari jabatannya sebagai Komisaris Utama di PT Semen Gresik dengan sebuah alasan yang amat “dangkal” oleh Pemerintahan SBY, yakni lantaran berani berpihak ke rakyat melakukan unjuk-rasa dengan menentang keras kenaikan harga BBM, tahun 2008 silam.

Kendati begitu, ketegaran dan keberaniannya berjuang untuk kepentingan rakyat hingga kini tak pernah surut. “Kualleangi tallanga natoalia. Sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai!” teriak Rizal Ramli di atas podium saat tampil pada acara Debat-Publik sebagai salah satu kandidat Capres 2014 Konvensi Rakyat, di Ballroom Graha Pena, Makassar, Sulawesi Selatan (Minggu, 16/2).

Sungguh, ungkapan yang diteriakkan oleh Rizal Ramli tersebut sangatlah mencerminkan kemurnian dari jiwanya sendiri. Artinya, jiwa yang dimiliki oleh Rizal Ramli selama ini sesungguhnya sangat relevan dengan motto/semboyan yang “dianut” oleh Suku Makassar-Bugis tersebut, yakni: ”Sekali Layar Terkembang, Pantang Biduk Surut ke Pantai”.

Semboyan tersebut sebetulnya adalah sebuah penggalan Syair Sinrili’. Sinrili’ adalah salah satu bentuk kesenian lokal Suku Makassar yang tergolong dalam seni sastra bersenandung tutur diiringi petikan kecapi. Penggalan syair yang dijadikan motto tersebut adalah: “Takunjunga’ bangung turu’.. Nakugunciri’ gulingku.. Kuallengi Tallanga Natoalia”, yang artinya: “Layarku telah kukembangkang.. kemudiku telah kupasang.. aku memilih tenggelam dari pada melangkah surut”.

Semboyan itu melambangkan betapa masyarakat Suku Makassar-Bugis memiliki tekad dan keberanian yang tinggi dalam mengarungi kehidupan ini, sekaligus menunjukan semangat kepribadian yang pantang mundur untuk tetap maju menuju kebenaran meski nyawa harus menjadi taruhannya. Dan semboyan inilah yang sangat persis sama dengan jiwa yang dimiliki oleh Rizal Ramli.

Sebetulnya, semboyan itu adalah hasil penggalian dari “falsafah” Suku Makassar-Bugis, yakni: “Siri’ Na Pacce”. Siri’ adalah rasa malu dari sesuatu yang tabu; sedang Pacce adalah pedih yang mengajarkan untuk mengutamakan rasa kesetiakawanan dan kepedulian sosial daripada kepentingan diri sendiri. Dan istilah Pacce inilah yang juga sudah berhasil diperlihatkan oleh Rizal Ramli. Yakni ia lebih memilih untuk mengorbankan dirinya dengan dipenjara (juga rela dipecat) asalkan bisa memperjuangkan kepentingan orang banyak.

Suku Makassar-Bugis berpandangan, bahwa jika Siri’ Na Pacce tidak dimiliki oleh seseorang, maka prilaku seseorang tersebut dapat melebihi tingkah laku binatang, tidak memiliki rasa malu, harga diri, dan kepedulian sosial. Seseorang itu juga hanya ingin menang sendiri dan lebih senang mengikuti hawa nafsunya.

Istilah Siri’ Na Pacce sebagai sistem nilai budaya sangat abstrak dan sulit didefenisikan, karena Siri’ Na Pacce hanya bisa dirasakan oleh penganut budaya itu. Namun nilai filosofis dari Siri’ Na Pacce adalah merupakan gambaran dan pandangan hidup yang dapat menggerakkan dan menjadikan orang bisa tampil sebagai sosok yang reaktif, pelindung, militan, konsisten, optimis, loyal, bernyali kuat, dan berjiwa konstruktif nan cerdas.

Sehingga itu, sebetulnya rakyat Indonesia saat ini sangat membutuhkan lahirnya sosok pemimpin yang memiliki jiwa dan karakter yang mencerminkan Siri’ Na Pacce. Jika tidak, maka harga diri dan kedaulatan Indonesia akan selalu diinjak-injak oleh negara luar.

Dan jika menelusuri rekam-jejak (mulai nol kilometer) semua figur yang kini disebut-sebut ingin maju sebagai Capres, maka tak berlebihan jika disebutkan, bahwa hanya ada satu figur yang sejak dulu senantiasa bertindak atas dasar Siri’ Na Pacce hingga kini, yakni Rizal Ramli.
Ewako Karaeng... Ewako Puang...!!!

SALAM PERUBAHAN 2014...!!!

--------------

Sumber: KOMPASIANA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar